OKTANA.ID, SURABAYA- Sejak sebulan terakhir, warga Jakarta kembali dipaksa berteman dengan kabut polusi yang kian hari kian pekat. Tak hanya mengacaukan aktivitas, akumulasi polutan udara ini juga mengancam keselamatan dan kesehatan massa.
Dosen Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Arry Febrianto SSi MT menuturkan, fenomena berulang ini terjadi karena emisi polutan yang dilepas melebihi kapasitas lingkungan. Hal tersebut membuat lingkungan tidak dapat melakukan pemulihan secara alami.
“Polutan tersebut kemudian mengalami reaksi perubahan dengan cahaya matahari di atmosfer lalu membentuk kabut pekat seperti yang terlihat di langit Jakarta akhir-akhir ini,” paparnya.
Berdasarkan data dari Vital Strategies, rata-rata tahunan konsentrasi polutan PM2,5 di Jakarta lebih tinggi empat sampai lima kali dibandingkan standar kualitas udara World Health Organization (WHO). Menurut lelaki yang akrab disapa Febri ini, angka tersebut menunjukkan tingginya tingkat konsentrasi pencemar pada daerah ini. Hal tersebut dapat mengakibatkan kerusakan kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan akut, penyakit paru-paru obstruktif kronis, kanker paru-paru, hingga kematian dini.
Meninjau langkah penyelesaian yang diambil oleh Pemerintah DKI Jakarta, Febri mengaku ada beberapa hal yang dapat disorot. Salah satunya adalah penyemprotan air ke jalanan dan gedung tinggi. Menurut Febri, meski dinilai tidak berpengaruh pada masyarakat, langkah ini justru baik karena dapat meminimalisasi polutan yang berasal dari debu jalan. Polutan jalan kota sendiri berkontribusi sekitar 1 – 6 persen di musim penghujan dan 9 persen di musim kemarau terhadap polusi di Jakarta.
Kebijakan lain yang diberlakukan saat ini adalah Work From Home (WFH) atau pemindahan tempat kerja di rumah. Dikatakan Febri, signifikansi pengaruh langkah ini perlu dihitung untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya. Perhitungan ini melibatkan data empiris terkait jumlah, jenis, serta proporsi penggunaan kendaraan Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah DKI Jakarta terhadap total kendaraan di pusat ekonomi negara ini.
Sedangkan, terkait pengadaan kendaraan listrik yang ramai diperbincangkan, Febri mengakui, langkah ini bisa saja menjadi solusi untuk mengurangi emisi di jalanan. Kendati demikian, penggunaan batubara yang menghasilkan emisi tinggi sebagai sumber bahan bakar pembangkit listrik tidak dapat serta merta diabaikan. “Perlu ditinjau kembali aturan dan kebijakannya agar tidak hanya sekadar memindahkan polusi dari jalanan ke pembangkit listrik,” tandasnya mengingatkan.
Sehubungan dengan upaya pencegahan dari sisi masyarakat, Febri mengimbau agar masyarakat dapat lebih bijak dalam penggunaan energi. Penggalakan pemakaian transportasi publik, penghijauan, serta memilah dan mengolah sampah harus terus dilakukan. “Masyarakat juga dapat membantu meminimalisasi jejak karbon dari distribusi produk dengan meningkatkan penggunaan produk lokal,” tuturnya.
Di lain sisi, Febri mengatakan, pemerintah semestinya meningkatkan strategi pengendalian kualitas udara baik dari sumber yang bergerak maupun sumber yang tidak bergerak. Menurutnya, program pemantauan emisi real time berkelanjutan juga dapat dibuat lebih praktis dengan digitalisasi. Tak hanya itu, peningkatan standar baku mutu berikut regulasi dan penegakan hukum serta peningkatan transisi energi ke energi baru terbarukan juga diperlukan.
Febri mengingatkan bahwa polusi udara tidak hanya terdapat di luar ruangan tetapi terjadi juga di dalam ruangan. Menurutnya, penting agar masyarakat mengetahui sumber pencemar yang ada di sekitar dan cara meminimalisirnya. Sinergi masyarakat dan pemerintah dalam perbaikan kualitas lingkungan dibutuhkan guna menaikkan kualitas lingkungan tersebut.
“Bumi adalah rumah kita semua, maka mari kita harus jaga dan rawat bersama,” pesan Febri.
Editor: Beatrix