OKTANA.ID, Surabaya- Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-P2KB) Kota Surabaya mengungkapkan faktor terbesar penyebab timbulnya kasus kekerasan terhadap anak. Faktor itu salah satunya disebabkan karena keutuhan keluarga hingga dampak negatif dari media sosial.
“Jadi keutuhan keluarga itu sangat penting. Dalam peristiwa yang selama ini terjadi, itu memang tidak utuh keluarganya, ibunya sudah tidak ada (cerai), atau ayahnya tidak ada,” kata Kepala DP3A-P2KB Kota Surabaya, Ida Widayati, Jumat (19/5/2023).
Selain keutuhan keluarga, Ida menyebut faktor terbesar lain penyebab kekerasan terhadap anak adalah dampak negatif dari media sosial (medsos). Menurut dia, sekarang ini anak-anak banyak menggunakan gadget secara tidak sehat dan bukan hanya untuk kepentingan sekolah.
“Untuk kenalan di Instagram, Facebook, seperti itu. Nyuwun sewu (mohon maaf) ya, profil yang dipasang di media sosial belum tentu dengan yang aslinya sama, nah itu terpincut,” ujarnya.
Karena itu, DP3A-P2KB pun juga intens melakukan pencegahan kekerasan terhadap anak melalui kegiatan sosialisasi dinamika remaja berkaitan dengan penggunaan media sosial. Sosialisasi tersebut menyasar ke sekolah-sekolah jenjang SD-SMP hingga pondok pesantren.
“Terakhir kita nyasar (sosialisasi) ke pesantren. Itu disampaikan bagaimana sih kita menggunakan internet yang sehat, bagaimana ilmu tentang reproduksi, seperti itu,” ujarnya.
Ida pun lantas membeberkan jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Surabaya pada tahun 2023. Sejak bulan Januari – April 2023, kasus kekerasan terhadap anak mencapai sekitar 30an.
“Ada sekitar 30 an kasus kekerasan terhadap anak sejak Januari-April 2023,” ungkap dia.
Menurut dia, penanganan kasus kekerasan terhadap anak salah satunya dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui Unit Pelaksanaan Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Namun, UPTD PPA ini tidak hanya melakukan penanganan kasus, tapi juga pencegahan terhadap kekerasan pada perempuan dan anak.
“UPTD ini bertugas melakukan pendalaman, kemudian melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk intervensinya seperti apa, sampai pendampingan kasus selesai,” paparnya.
Meski begitu, Ida menjabarkan, jika pola penanganan kasus kekerasan terhadap anak dilakukan secara berbeda-beda. Mulai dari bentuk intervensinya, hingga berapa lama korban harus didampingi. “Jadi tergantung dari kondisinya (korban) masing-masing,” pungkasnya.
Diketahui sebelumnya Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menyampaikan, upaya dalam mencegah kekerasan terhadap anak, salah satunya dilakukan dengan cara sosialisasi ke sekolah hingga Puspaga Balai RW. Sosialisasi ini juga dilakukan bersama Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Surabaya.
“Kita ada Puspaga yang ada di Balai RW, yang ada di Siola juga. Itu tidak lepas dari pendampingan Polrestabes Surabaya. Karena Unit PPA itu kerjasama dengan kita, jadi kita jalan bersama,” kata Wali Kota Eri Cahyadi.
Ia mengungkapkan, bahwa jumlah kasus yang melibatkan anak di Kota Surabaya masih dalam kategori wajar. Namun demikian, kasus tersebut seyogyanya tidak digeneralisir dengan jumlah anak di Surabaya.
“Dalam data Unit Perlindungan Anak masih kategori wajar dan itu jumlahnya sedikit. Jadi tidak bisa ketika ada kejadian satu, dua, ‘menggebyah uyah’ (digeneralisir) dengan jumlah anak di Surabaya,” tegasnya.
Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Pasma Royce menyampaikan, bahwa perlu ada kerjasama dengan pihak-pihak terkait dalam upaya mencegah kasus kekerasan terhadap anak. “Bahwa yang paling utama adalah tingkat pengawasan dari orang tua dan orang terdekat, itu paling penting,” kata Kombes Pol Pasma.
Lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) 1996 itu juga menyebutkan, upaya pencegahan kekerasan terhadap anak, tidak bisa hanya dilakukan Polrestabes dan Pemkot Surabaya. Namun, peran aktif orang tua dalam menjaga putra-putri mereka lebih optimal juga sangat penting.
“Selama ini kita masih terus berjalan untuk pemberian sosialisasi dan imbauan ke sekolah-sekolah, baik melalui kegiatan pertemuan secara formal maupun informal, juga pemberian (sosialisasi) melalui media sosial,” kata mantan Kapolres Metro Jakarta Barat ini.
Editor: Beatrix