OKTANA.ID, Semarang– Masyarakat Desa Wadas, Kabupaten Purworejo yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) dan Solidaritas Wadas menggelar acara “Menolak Lupa Represi dan Kedzaliman Negara” di Desa Wadas. Peringatan yang berlangsung mulai Rabu (8/2) hingga Jumat (10/2) ini untuk menandai satu tahun tindakan brutal pemerintah Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam menindas warga Desa Wadas yang menolak penambangan batu andesit di Desa Wadas.
Momen ini juga menjadi sarana bagi Gempadewa dan Solidarita untuk mengumumkan kepada publik bahwa surat rekomendasi yang dikeluarkan Dirjen Mineral dan Batubara, Kementrian ESDM kepada Ditjen Sumberdaya Air, Kementrian PUPR untuk menambang batu andesit di Desa Wadas belum bersifat final. Seperti diketahui, Gempadewa telah menggugat surat rekomendasi itu melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang telah memutuskannya, Rabu (1/2). Penanggungjawab acara, Talabudin meminta pemerintah segera menghentikan rencana penambangan di Wadas.
“Aktivitas penambangan di Wadas ilegal dan pemerintah hendaknya menghargai aspirasi warga desa yang menolak tambang,” ujar ketua Gempadewa itu.
Sementara itu Anis dari Wadon Wadas (kelompok perempuan yang menolak tambang) mengatakan penambangan akan menyebabkan warga jatuh miskin karena kehilangan tanah pertaniannya. Hasil ganti rugi digunakan untuk membeli barang-barang konsumtif, seperti mobil dan perabot rumah tangga.
“Warga kehilangan mata pencaharian yang berkelanjutan sebagai petani. Semua barang konsumtif yang dibeli bisa hilang dalam sekejap dan tidak bisa menghidupi warga,” ujarnya.
Dhanil Al Ghifary dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang menjadi kuasa hukum warga Wadas mengatakan PTUN Jakarta menyatakan dalam perkara 388/G/2022/PTUN JKT, majelis hakim memutuskan bahwa Surat Rekomendasi No.T-188/MB.04/DJB./2021 yang menjadi dasar hukum penambangan andesit di Wadas tidak memiliki kekuatan hukum. Tetapi dalam amar putusannya tidak menegaskan penambangan di Wadas ilegal.
“Putusan ini memperkuat dugaan kita, bahwa selama ini proses tahapan penambangan di Wadas adalah ilegal. Pemerintah harus menghentikan rencana penambangan batu andesit di Wadas karena tidak memiliki dasar hukum,” tegasnya.
Seperti diketahui, tepat satu tahun lalu pemerintah menerjunkan ribuan aparat kepolisian dan preman untuk mengintimidasi warga yang menolak tambang andesit. Saat mereka melakukan mujahadah di masjid, polisi memukul, menangkap, dan menahan warga yang menolak tambang itu.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo minta maaf atas peristiwa itu. Tetapi setelah itu, pemerintah makin intensif membujuk warga agar menjual tanahnya dengan berbagai bujuk rayu yang manipulatif. Batu andesit itu kan digunakan sebagai material pembangunan Bendungan Bener yang ditetapkan sebagai Proyek Strategis Negara (PSN) di desa tetangga untuk keperluan pertanian dan penunjang infrastruktur proyek pariwisata.
Dalam acara kali ini, juga diresmikan patung yang menjadi tanda perjuangan warga Wadas menolak tambang andesit yang merusak alam dan merampas tanah pertanian mereka. Patung karya para pemuda Wadas ini berupa tangan mengepal yang berada di sebuah ruas jalan desa di Dusun Randuparang.
“Patung ini kami buat sebagai tanda bahwa kami terus berjuang untuk menolak rencana pertambangan itu,” ujar tokoh pemuda Wadas, Siswanto.
Acara ini juga diisi dengan berbagai kegiatan, seperti mujahad, pentas kesenian tradisional Baongan, pentas musik, pasar solidaritas dan live sablon, mural, dan pameran karya seni serta dokumentasi perjuangan warga Wadas. Gempadewa berharap masyarakat datang dan ikut menyuarakan perjuangan warga Wadas yang menolak perselingkuhan pemerintah dan oligarki dalam menambang batu andesit di desa mereka. (rilis)