OKTANA.ID, SURABAYA- Surabaya menjadi kota dengan angka stunting terendah secara nasional atau terendah se-Indonesia. Capaian tersebut tidak lepas dari berbagai program yang dijalankan oleh Pemkot Surabaya bersama seluruh stakeholder di Kota Pahlawan.
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting di Surabaya tercatat di level 4,8 persen (923 balita). Padahal, di tahun 2021 masih tercatat sebanyak 28,9 persen (6.722 balita) dan menurun signifikan di akhir tahun 2022 menjadi 4,8 persen (923 balita). Selanjutnya di tahun 2023, angka kasus stunting terus menurun.
Pada awal Januari 2023 stunting Surabaya sebanyak 923 kasus, awal Februari 2023 sebanyak 872 kasus, awal Maret 2023 sebanyak 850 kasus, awal April 2023 sebanyak 805 kasus, awal Mei 2023 sebanyak 760 kasus, awal Juni 2023 sebanyak 712 kasus, awal Juli 2023 sebanyak 653 kasus, awal Agustus 2023 sebanyak 583 kasus, awal September 2023 sebanyak 533, dan saat ini hingga tanggal 26 September 2023 sebanyak 529 kasus.
SSGI juga mendata prevalensi stunting secara nasional pada tahun 2022, rata-rata masih berada di level 21 persen. Sedangkan berdasarkan bulan penimbangan serentak, prevalensi stunting di Surabaya pada tahun 2022 hanya tinggal 1,22 persen.
“Sejak awal diamanahi sebagai wali kota, kami memang langsung tancap gas soal stunting. Presiden Jokowi dan Ibu Megawati selalu pesan soal pentingnya penanganan stunting, karena ini soal masa depan generasi penerus kita, generasi emas di tahun 2045. Tahun ini kita terus bergerak karena kita ingin tahun 2023 ini, Surabaya zero stunting,” kata Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi.
Ia juga menceritakan setelah dilantik menjadi Wali Kota Surabaya, ia bersama jajarannya fokus menekan angka stunting. Adapun langkah pertama yang dijalankan yakni dimulai dari pendataan, setiap calon pengantin langsung terdeteksi data kesehatannya. Semua data terintegrasi antara Kantor Kementerian Agama dan Puskesmas. Ini penting untuk mempermudah dan mengetahui orang-orang yang memiliki risiko kekurangan gizi.
“Jadi langsung ketahuan, bagaimana lingkar lengan atas dan indeks massa tubuh calon pengantinnya. Ini penting untuk tahu apakah ada risiko kekurangan energi kronis atau kekurangan gizi, sehingga ada antisipasi. Di situlah Pemkot Surabaya melalui Puskesmas melakukan intervensi, bisa berupa tambahan gizi dan sebagainya,” jelasnya.
Selain itu, dari sisi pendataan, pihaknya turut mengandalkan gotong royong warga Surabaya, salah satunya melalui aplikasi ‘Sayang Warga’. Melalui aplikasi tersebut para Kader Surabaya Hebat (KSH), RT/RW, dan warga bisa mendata serta melaporkan kondisi balita di sekitarnya.
“Berkat kehebatan gotong royong inilah, semua permasalahan terdeteksi dan kita beri solusi. Tidak hanya stunting sebenarnya, ada soal rumah tidak layak huni, masalah pendidikan, sosial, dan sebagainya. Bahkan di tingkat RW ada dapur umum di mana warga gotong royong saling bantu untuk pemberian makanan bagi balita di wilayahnya,” ungkapnya.
Menurutnya, penurunan angka stunting itu tak lepas dari 8 aksi konvergensi yang dilakukan oleh pemkot selama ini. Secara rutin, pemkot melakukan pelaksanaan rembuk stunting di tingkat kota, mulai dari kecamatan, kelurahan, puskesmas, PKK, tiga pilar dan peran serta tokoh masyarakat.
“Dengan konvergensi tersebut, tersusun pemecahan masalah yang ditemukan dengan intervensi sensitif mencapai 70 persen dan spesifik 30 persen, sesuai masing – masing wilayah di kelurahan dan kecamatan. Alhamdulillah dengan berbagai program itu, angka kasus stunting di Surabaya terus turun dan terendah se-Indonesia,” pungkasnya.
Editor: Beatrix