OKTANA.ID– Dunia keuangan global dikejutkan dengan datangnya kabar buruk dari bank dunia, yakni Silicon Valley Bank Amerika Serikat pada 10 Maret 2023 lalu. Kabarnya, musibah ini dikarenakan adanya krisis modal yang telah terjadi selama 48 jam. Jelasnya, bank ini bangkrut karena gagal mendapatkan sumbangan modal dan penarikan dana dari nasabah dan investor yang sangat ekstrem. Sebelumnya, SVB berencana untuk mengumpulkan dana sebesar US$ 2,25 Miliar atau senilai Rp 34,75 triliun untuk menambah modalnya. Akan tetapi, keberuntungan belum berpihak kepada bank dunia yang berdiri sejak tahun 1983 ini hingga akhirnya mengalami kebangkrutan.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, kebangkrutan yang dialami oleh Silicon Valley Bank ternyata juga menulari para bank besar lainnya. Pasalnya, terdapat bank besar Amerika Serikat lainnya yang juga dikabarkan mengalami kebangkrutan secara beruntun. Bank tersebut antara lain:
- Signature Bank
Kantor Signature Bank, New York kabarnya ditutup tepat pada dua hari setelah kebangkrutan SVB waktu Amerika Serikat. Salah satu bank industri kripto ini bangkrut karena adanya kondisi pasar stablecoin yang tidak stabil atau mengalami arus keluar secara tajam setelah regulator New York dan Securities and Exchange Commission memberikan tekanan pada penerbitnya, Paxos. Bank yang berdiri pada tahun 2001 ini diketahui baru memulai fokusnya pada industri kripto pada lima tahun terakhir dan disebut-sebut sebagai bank yang paling banyak diminati oleh para investor karena memberikan pelayanan yang tidak rumit.
- Silvergate Bank
Sama halnya dengan Signature Bank, Silvergate Bank juga memiliki fokus pelayanan pada industri kripto. Tidak heran apabila Silvergate Bank juga menyusul kebangkrutan Signature Bank karena diketahui keduanya adalah dua bank utama pada industri kripto, sehingga penyebab kebangkrutannya pun sama yakni karena jatuhnya pasar stablecoin. Kabarnya, Silvergate Bank menutup kantornya pada hari Rabu tanggal 22 Maret 2023 lalu.
- First Republic Bank
Kondisi perbankan di Amerika Serikat saat ini sedang berada di ambang kehancuran. Pasalnya, setelah kebangkrutan yang dialami oleh Silicon Valley Bank dan disusul oleh Signature Bank hingga Silvergate Bank, kabar mengkhawatirkan tiba-tiba datang dari First Republic Bank yang mana juga terancam bangkrut. Akan tetapi, 11 bank di negeri Paman Sam beramai-ramai memberikan sumbangan modal kepada bank yang mulai beroperasi pada tahun 1985 ini agar terhindar dari kebangkrutan. Bank tersebut antara lain JP Morgan, Bank of America Corp, Citigroup, Wells Fargo, Morgan Stanley, Goldman Sachs Group Inc, BNY Mellon, PNC Financial Services Group, State Street Corp, Truistt Financial Corp, hingga US Bancorp. Sementara itu, nominal dana yang diberikan sebesar US$ 30 Miliar atau senilai Rp 461 triliun. Diketahui, First Republic Bank merupakan bank terbesar ke 14 di Amerika Serikat sehingga bank ini mendapatkan kepercayaan dari komunitasnya untuk diamankan dari kebangkrutan.
Dengan adanya berita kebangkrutan dari bank dunia tersebut tentunya cukup memberikan kekhawatiran besar terhadap kondisi sektor perbankan yang ada di berbagai negara, khususnya Indonesia. Apakah benar kemalangan yang dialami oleh Silicon Valley Bank dan rekan-rekannya nantinya juga akan berdampak buruk terhadap dunia perbankan di Indonesia?
Pengamat Ekonomi sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studie (Celios), Bhima Yudhistira berpendapat, bahwa adanya peristiwa ini tidak menutup kemungkinan juga akan dialami oleh sektor perbankan di tanah air. Menurutnya, pemerintah Indonesia juga harus mewaspadainya dan sadar bahwa sebenarnya perbankan yang berskala kecil bahkan seperti fintech juga bisa berisiko tinggi terhadap ketahanan sistem perbankan secara keseluruhan. Lebih lanjut, Bhima menyoroti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait pengawasan sektor keuangan digital karena seperti yang kita tahu bahwa di tanah air kegiatan ini masih terbilang kurang ketat sehingga rawan kerugian. Untuk itu, dengan adanya kejadian di negeri Paman Sam ini sebaiknya para pemangku kepentingan terkait semakin meningkatkan regulasi dan pengawasannya pada sektor perbankan di Indonesia.
Bhima juga menambahkan, bahwasanya model bisnis Silicon Valley Bank diketahui banyak mendanai perusahaan rintisan atau startup. Hal ini perlu menjadi perhatian besar bagi pemerintah karena di Indonesia sendiri juga terdapat beberapa bank yang menjalankan model bisnis serupa dengan bank dunia tersebut bahkan memiliki anak usaha yang bergerak di aset digital. Hal ini juga akan mempengaruhi kepercayaan para investor karena dengan adanya peristiwa ini mereka akan semakin berhati-hati dengan sektor keuangan dan tidak menutup kemungkinan akan mengalihkan kepercayaan investasinya pada sektor usaha lain.
Selain itu, Bhima benar-benar menyarankan kepada Bank Indonesia agar tidak terlalu agresif dalam meningkatkan suku bunga acuan karena hal ini juga menjadi salah satu pemicu terjadinya kebangkrutan yang dialami oleh para bank dunia di Amerika Serikat tersebut. Hal ini ditanggapi oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, yang menegaskan bahwa sistem keuangan di Indonesia akan tetap baik-baik saja. Pertama, menurut Perry tidak ada bank di Indonesia yang memiliki obligasi Amerika Serikat sehingga tidak akan ada dampak secara langsung akibat peristiwa dari bank dunia ini. Kedua, jika melihat dari stressing assestment Bank Indonesia Perry menyimpulkan bahwa deposit funding nya sudah terdiversifikasi, ketiga Surat Berharga Negara (SBN) di Indonesia memiliki manajemen risiko yang baik. Namun, menurutnya Bank Indonesia tetap harus waspada dengan segala kemungkinan yang ada dengan cara menjaga kestabilan nilai tukar rupiah.
Penulis: Lutfina
Editor: Srinan