Dalam ruang tunggu.
Di antara jajaran kursi, ada deru napas
dan seretan kaki yang saling berlari.
Menyambut tempat duduk. Yang sesak dan rusak.
Berjalan ke pinggiran kota.
Tak ada ‘permukiman’ kemanusiaan.
Hilang suara bocah, kidung perempuan hamil,
atau sekadar sayup kipas daun.
Bangunan ‘hotel’ kekuasan berdiri megah nan gagah.
Mengangkangi sungai pemancingan ‘perekonomian’.
“Belilah kertas ini, nanti kau bisa jadi orang terkenal disini,” kata hotel yang genit merayu.
Nasib tergeser dan tergusur.
Masih ada hukum rimba. Bersyukur mereka dikembalikan pada ‘pramanusia’- nya.
Jarah dan serakah.
Lalu apa masih ada cinta di ibukota?
Puisi karya Anak Sri Tandjung