OKTANA.ID, SURABAYA – Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Moh. Adib Khomaini menyebut bahwa sebaran tenaga kesehatan, terutama dokter spesialis di Jawa Timur saar ini tidak merata, penyebabnya adalah tidak adanya asesmen dari pemerintah daerah terkait kebutuhan nakes.
IDI mencatat, saat ini jumlah dokter di Jatim tahun 2023 sebanyak 21.000 orang. Kemudian, jika mengacu pada standar yang ditentukan WHO, idealnya satu dokter melayani 1.000 penduduk, jadi 1:1000.
Tetapi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat saat ini pendudik Jatim berjumlah 41.416.407 jiwa. Artinya menunjukkan bahwa kebutuhan dokter/nakes di Jatim masih kurang, terlebih di daerah-daerah kecil.
Menurutnya, untuk mengetahui kebutuhan dokter di setiap daerah, maka Pemkab/Pemkot terkait wajib membuat asesmen tentang alokasi nakes, khususnya dokter spesialis.
“Setiap Pemda harus melakukan sebuah assessment tentang kebutuhan dokter spesialis. Di setiap daerah, ukurannya jangan nasional karena rasio itu per pemda,” kata Adib.
Sebetulnya, Pemerintah Pusat telah mengatur tentang alokasi nakes melalui UU No. 23 Tahun 2012 tentang Pemerintah Daerah.
“Disebutkan, bahwa kewenangan menampatkan tenaga kesehatan untuk kemudian di alokasi kebutuhan itu ada. Nah ini yang kemudian harus dimulai dari, satu setiap Pemda kab/kota,” jelasnya.
Namun, menurutnya jika asesmen tersebut dibuat oleh Pemda/Pemkot, maka setiap daerah yang memiliki data dapat saling mendorong untuk pemenuhan tenaga kesehatan.
“Kalau sudah punya asesmen, dokter daerah akan melakukan ‘lebih ayo kita dorong ke daerah lain yang masih kosong’. Sehingga daerah yang penuh bisa mengatakan untuk periode satu tahun ini saya mengatakan daerah saya tutup untuk penerbitan SIP,” bebernya.
Jika tidak, maka tenaga medis terlebih dokter spesialias akan lebih memilih penempatan kerja di kota-kota besar dengan akses yang mudah fasilitas mumpuni.
Apalagi, jika dokter tersebut berlatar belakang mahasiswa mandiri, bukan beasiswa. Sehingga, tidak terikat pada kebijakan apapun.
“Kebijakan itu belum pernah ada. Akhirnya baik dokter umum maupun spesialis, dia akan mencari tempat yang ekonominya tinggi karena sekolah kedokteran bukan dibiayai oleh negara sebagian besar adalah mandiri. Kecuali nanti dapat beasiswa, dia kontrak daerah dan kembali ke daerah. Ini yang sekarang dilakukan walaupun secara jumlah belum cukup, tapi ini yang harus kita dorong,” ucapnya.
Meski begitu, Adib tak menampik jika setiap dokter pasti bersedia jika ditempatkan pada daerah terpencil. Namun, juga harus didukung oleh kesejahteraan dan fasilitas sesuai kebutuhan.
“Jenjang karir, kesejahteraan, insentif, dan sarana prasana itu menjadi jaminan sehingga kita bisa untuk mendorong teman-teman dokter mau ke daerah. Saya katakan, kami akan siap membantu daerah, me-marketing, memberikan pemahaman supaya mereka mau ke daerah. Tapi tentu ada pertanyaan, nanti bagaimana saya di sana. Ini perlu ditegaskan dari Pemda,” pungkasnya