OKTANA.ID, KEDIRI– Mendag Zulkifli Hasan melanjutkan audiensi dengan para petani tembakau di Hotel Grand Surya, Kota Kediri, Jawa Timur, Rabu siang. Dalam audiensi tersebut, Mendag Zulkifli Hasan mengatakan bahwa Kementerian Perdagangan mendukung terciptanya kemitraan yang lebih erat antara petani tembakau dan industri hasil tembakau. Hal ini untuk memastikan agar pasokan tembakau diserap dari petani tembakau lokal dengan harga yang wajar, sekaligus memotong mata rantai yang panjang dalam perdagangan tembakau.
“Misi kami datang kemari adalah membawa teman-teman petani tembakau dari Wonosobo dan Temanggung untuk mendengar aspirasi mereka. Para petani ini mengeluhkan harga, terkait dengan tengkulak dan semacamnya. Oleh karena itu, kami pertemukan para petani tembakau dengan industri hasil tembakau agar didapatkan solusi bersama. Jika ada kekurangan, para petani juga minta dibina,” ungkap Mendag Zulkifli Hasan.
Salah satu keluhan petani adalah sisi permodalan. Ketiadaan permodalan yang memadai memaksa para petani tembakau untuk menggantungkan diri dari pinjaman rentenir.
“Petani itu juga ternyata sebagian besar memakai uang rentenir yang bunganya 10 persen per bulan. Bayangkan, berapa untungnya? Kapan untungnya? Hal itu nanti kita bantu. Daripada tengkulak, lebih baik ke bank. Bank BRI ada pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR), bunganya hanya setengah persen sebulan atau enam persen setahun,” kata Mendag Zulkifli Hasan.
Industri tembakau nasional memiliki permasalahan mata rantai yang cukup panjang. Untuk menyesuaikan permintaan produsen, penilaian tembakau petani biasanya dilakukan oleh para intermediate trader seperti pengepul, kordinator petani, grader, maupun vendor.
Mendag Zulkifli Hasan berharap agar industri hasil tembakau dapat mengutamakan pasokan tembakau dari dalam negeri. Hal ini penting untuk mempertahankan ekosistem industri tembakau yang sifatnya padat karya. Menurut Mendag Zulkifli Hasan, industri hasil tembakau dapat terus menyerap tenaga kerja di dalam negeri.
“Kata kuncinya adalah kerja sama. Harus ada kerja sama yang baik antara petani dan industri. Jika ada masalah, cari jalan keluarnya bersama-sama. Itulah gunanya pemerintah, mempertemukan berbagai pihak untuk berembuk. Sehingga jika produksi bagus, harga juga akan bagus,” imbuh Mendag Zulkifli Hasan.
Berkembangnya teknologi telah melahirkan rokok elektrik yang mempengaruhi industri rokok di tanah air seperti, pada PT Gudang Garam Tbk, PT Djarum dan pabrik rokok lainnya.
“Jangan sampai pabrik rokok kena pajak banyak, tenaga kerja banyak, dan ini (rokok elektrik) tenaga kerja sedikit, nggak bayar pajak, misalnya. Ini masukan untuk pemerintah, saya tampung,” tambah Zulkifli Hasan.
Terkait keluhan para petani tembakau dan pabrik rokok, pemerintah akan melakukan penyesuaian terhadap pajak rokok elektrik.
“Harusnya lebih tinggi dari pabrik rokok kretek yang menggunakan tenaga kerja lebih banyak,” ancamnya.
Penurunan produksi rokok berimbas pada petani tembakau. Harga jual tembakau mengalami penurunan. Kondisi ini diperparah oleh ancaman hutang rentenir yang dialami petani. Petani hampir sebagian besar pakai uang rentenir, dan bunganya 10 persen sebulan. Itu nanti dengan KUR (Kredit Usaha Ringan). Dan ini harus kerjasama dengan bupati dan para gubernur serta pemerintah pusat,” terang Zulhas.
Salah satu petani tembakau asal Temanggung, Budi Sulaiman mengaku, terjadi penurunan harga jual tembakau sejak tiga tahun terakhir. Petani terpaksa melepas tembakaunya ke pabrik dengan harga rendah pada kisaran Rp30-50 ribu per kilogram.
“Ketika harga tembakau berkisar Rp 30 ribu – Rp 50 ribu per kg, maka tidak menutup biaya produksi. Apalagi jika dihitung biaya sewa tanahnya,” keluh Budi.
Menurut Budi, standar layak harga jual tembakau yang diharapkan petani di angka Rp50 ribu – Rp 100 ribu per kg. Dan petani baru bisa merasakan keuntungan, saat harga jual tembakau mencapai Rp130 ribu – Rp 140 ribu per kg, seperti tahun 2011 lalu.
Editor: Srinan