OKTANA.ID, MALANG– Spirit perjuangan mungkin bakal menjadi modal positif untuk Grienny Nuradi Atmidha. Sosok fenomenal medio 2000-an di Universitas Negeri Malang (UM) akhirnya turun ke bawah (turba). Eks Presiden Mahasisma (Presma) UM ini maju sebagai calon legislatif (caleg) di Kabupaten Malang dari Partai Demokrat.
Setelah sukses menggeluti bidang menjadi edupreneur, pria yang akrab disapa Sam Greny ini nekat nyaleg. Masuknya ke politik praktis ini bukan tanpa sebab. Rasa panggilan untuk memperbaiki kondisi Kabupaten Malang, khususnya sektor pendidikan dan ekonomi kreatif menjadi konsentrasi Greny.
“Memang banyak pertimbangan untuk masuk ke politik praktis, tapi bismillah saja karena banyak dukungan dari lingkungan yang benar-benar mengenal siapa saya,” ungkap Greny.
Pengalamannya dalam keorganisasian memang tak bisa dipungkiri, akan tetapi Greny harus segera beradaptasi dengan percaturan politik praktis di Kabupaten Malang. Menurutnya, panggilan untuk maju menjadi caleg karena beberapa ketimpangan.
Seperti menyangkut persoalan pengawasan kebijakan dan problematika kesejahteraan. Secara spesifik, Greny melihat ketimpangan dalam tenaga pengajar honorer di Kabupaten Malang. Menurutnya, elemen-elemen kecil dalam pendidikan belum digarap secara serius. Sehingga, permasalahan guru honorer setiap tahunnya tidak bisa diselesaikan secara fundamental. Greny menilai hal-hal dasar semacam ini masih perlu diperbaiki di Kabupaten Malang.
“Kira-kira setiap tahun masih ada saja kabar miris tentang kesejahteraan guru honorer kita,” ungkap pria yang juga sebagai Founder Yayasan Embong Apik Malang.
Tak hanya itu, Greny melihat keterwakilan kelompok terpinggir atau kurang mendapat perhatian ini harus diselesaikan terlebih dulu oleh pemerintah. Dengan kasus seperti ini, membuat hati Greny terketuk untuk maju menjadi caleg.
Semestinya, kata Greny, legislatif harus keras menyampaikan dan bersuara tentang hal-hal yang masih jauh dari kata ideal dan adil. Sehingga, mengembalikan marwah legislatif sebagai pengawas eksekutif akan kembali ke track-nya.
“Prinsipnya, putting the last, first. Artinya, kita mendahulukan mereka yang terpinggir, jadi cita-cita keadilan dapat diupayakan oleh legislatif. Saya beri contoh, anggaran Jasmas (Jaringan Aspirasi Masyarakat) dan Pokir (Pokok-pokok pikiran anggota DPRD) itu cukup besar. Sayangnya, hal ini hanya digunakan untuk merawat daerah atau kelompok konstituen pemilih politisi partai mereka saja. Kalau untuk kebaikan seluruh masyarakat kenapa harus pilih-pilih,” beber Greny.
Editor: Setyo