OKTANA.ID– Indonesia telah menjadi negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan terbesar ke-17 di dunia pada 2022. Meski demikian, satu dari lima anak di bawah dua tahun di negeri ini mengalami kurang gizi kronis.
Angka stunting (anak dengan ukuran tinggi kurang dari standar) di Indonesia mencapai 21,6% pada 2022, sebuah angka tertinggi kedua di ASEAN setelah Timor Leste. Masalah ini masih menjadi masalah kesehatan utama yang dihadapi Indonesia. Stunting selama masa kanak-kanak akan berdampak terhadap kesehatan seumur hidup.
UNICEF menyatakan Indonesia adalah salah satu negara berkembang dengan prevalensi stunting yang tinggi karena masuk dalam lima besar kasus stunting dari 88 negara di dunia.
Meski terjadi penurunan kejadian stunting di Indonesia selama dekade terakhir, tapi angka ini masih belum sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada 2024, yaitu masing-masing di bawah 20% dan 14%.
Meski pemerintah telah melakukan beberapa intervensi, prevalensi stunting di Indonesia yang masih tinggi menunjukkan bahwa penanganannya masih berjalan lambat. Kita perlu mengurai penyebabnya yang begitu banyak dan kompleks dari level mikro hingga makro.
Stunting dan efek domino
Stunting secara luas didefinisikan sebagai pertumbuhan yang terbatas. Maksudnya, status gizi balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umurnya. Pengukuran tingkat stunting dilakukan menggunakan standar pertumbuhan anak dari WHO.
Stunting merupakan penanda dari kekurangan gizi kronis dan dampaknya panjang. Dampak negatif stunting meliputi peningkatan cacat dan angka kematian bayi, serta penurunan kinerja dan perkembangan kognitif.
Selain itu, terjadi peningkatan risiko infeksi, perkembangan psikomotor yang buruk, dan keterlambatan perkembangan anak
Dalam jangka panjang, anak dengan stunting dapat memiliki IQ rendah yang mengakibatkan penurunan kinerja di sekolah. Efek dominonya berlanjut: menurunkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan yang layak. Pada akhirnya, stunting menurunkan kualitas hidup anak saat dewasa.
Selain itu, anak dengan stunting juga berisiko menderita obesitas. Dampak lanjutannya adalah dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, dan kanker suatu hari nanti.
Banyak sekali penyebabnya
Stunting umumnya disebabkan oleh penyebab langsung dan tidak langsung yang terjadi dalam jangka waktu lama. Penyebab langsung yaitu asupan makanan yang tidak memadai (energi, makronutrien, dan mikronutrien) dalam jangka waktu lama, kelahiran prematur, dan infeksi.
Penyebab tidak langsung meliputi usia ibu saat hamil, ibu kurang gizi, kondisi sosial ekonomi budaya, pendidikan, sistem pangan, perawatan kesehatan, infrastruktur dan layanan air dan sanitasi.
Berat badan dan khususnya panjang saat lahir adalah indikator yang baik dari status gizi anak pada masa depan. Bayi yang terlahir dengan berat rendah (<2,5 kg) berisiko terkena stunting 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan bayi dengan berat lahir normal.
Berat saat lahir yang rendah mengindikasikan bayi tidak tumbuh dengan kecepatan normal di dalam rahim selama kehamilan.
Tinggi dan berat badan ibu juga berkorelasi kuat pada kasus stunting. Hal ini berkaitan dengan malnutrisi ibu yang pada akhirnya memengaruhi perkembangan bayi. Walaupun demikian, hal ini tentunya dapat dicegah dengan pemberian asupan nutrisi yang baik pada ibu dan anak.
Menurut WHO, praktik menyusui yang tidak optimal, termasuk menyusui yang tertunda, pemberian ASI yang tidak eksklusif, dan penghentian menyusui dini berperan signifikan terhadap terjadinya kasus stunting.
Pemberian makanan pendamping ASI yang prematur atau sebelumna waktunya juga memiliki efek merugikan pada bayi karena lebih berisiko terjangkit penyakit menular (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11053507/)
Selain itu, pemberian makanan pada bayi sebelum 6 bulan ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan panjang atau berat badan anak.
Faktor lainnya yang mempengaruhi stunting pada anak adalah infeksi diare berulang .
Diare akut (lebih dari tiga kali sehari) dalam empat minggu dikaitkan dengan risiko mengalami stunting yang lebih tinggi. Anak kecil lebih rentan terhadap diare dan infeksi cacing ketika rumah memiliki fasilitas kebersihan yang buruk atau minum dari air yang tidak layak konsumsi.
Infeksi ini menyebabkan anak kehilangan nafsu makan, sehingga mengkonsumsi makanan lebih sedikit dari yang dibutuhkan.
Selain itu, diare dapat mengurangi penyerapan nutrisi di usus karena makanan tidak sempat diserap tapi segera keluar dari tubuh. Infeksi juga dapat menyebabkan demam sehingga tubuh membakar lebih banyak makanan dan mengerahkan energi untuk melawan infeksi, alih-alih menggunakannya untuk perkembangan fisik.
Oleh karena itu, diare dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan bila tidak diimbangi dengan makanan berkualitas dan tidak segera diobati.
Faktor tidak langsung
Keluarga yang tinggal di daerah pedesaan lebih berisiko mengalami stunting . Penyebabnya, mereka kekurangan akses layanan kesehatan dan infrastruktur terkait, seperti jalan raya, yang mempermudah akses ke dokter, klinik, dan sumber pangan bergizi tinggi.
Sarana prasarana kesehatan fisik seperti dokter, inkubator yang berfungsi, fasilitas laboratorium, dan poliklinik rawat jalan, juga lebih terbatas di daerah pedesaan. Padahal, fasilitas ini mendukung diagnosis, penyembuhan, dan monitoring perkembangan kesehatan ibu dan anak.
Hubungan antara lama pendidikan ibu dan risiko stunting juga didukung oleh berbagai penelitian. Pengasuh yang berpendidikan lebih tinggi biasanya memiliki pengetahuan gizi dan cenderung lebih memberikan vitamin A, garam beryodium, imunisasi lengkap, akses sanitasi yang lebih baik untuk anak.
Kesehatan mental pada ibu juga dapat menjadikan anak terabaikan gizinya, sehingga berkontribusi pada munculnya kasus stunting.
Selain itu, pendidikan juga berkontribusi pada ekonomi, yang juga berkaitan dengan stunting. Anak-anak dari rumah tangga miskin juga lebih berisiko mengalami stunting karena keterbatasan konsumsi makanan bergizi berkualitas tinggi dan akses layanan kesehatan.
Program dan pengamatan gizi di desa pada 1980-an juga diakui Bank Dunia berperan penting dalam menurunkan prevalensi stunting di Indonesia. Namun, program ini mengalami kemunduran dan kehilangan perhatian dari pemerintah sejak 2014.
Kemunduran ini terkait dengan desentralisasi kekuasaan yang juga mengurangi efektivitas program peningkatan status gizi anak. Karena manajemen yang lemah dan tata kelola yang buruk dan tidak merata di setiap daerah.
Kemampuan mengatasi beragam penyebab di atas, yang begitu banyak, baik melalui kebijakan, anggaran, sumber daya maupun implementasi akan menentukan seberapa cepat Indonesia mampu keluar dari masalah rumit stunting.
Tantri Liris Nareswari, Lecturer, Institut Teknologi Sumatera
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.