OKTANA.ID– Penggunaan teknologi digital semakin masif dalam demokrasi elektoral, tidak terkecuali di Indonesia yang akan menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Media digital menjadi medium favorit, khususnya pada tahapan kampanye yang melibatkan proses pengumpulan, penyimpanan, dan analisis data pribadi pemilih. Partai politik menggunakan data-data tersebut untuk membuat profil pemilih dan acuan dalam menentukan strategi kampanye–dan ini berpotensi mendorong eksploitasi dan penyalahgunaan data.
Skandal Cambridge Analytica dalam Pemilu Amerika Serikat (AS) menjadi contoh bagaimana penyalahgunaan data pengguna media sosial dapat memengaruhi perilaku pemilih melalui iklan politik yang ditujukan kepada audiens yang ditargetkan atau sesuai dengan materi iklan (micro-targeting) dan mengancam institusi demokrasi.
Namun, perlindungan privasi pemilih penting bukan hanya untuk menghindari eksploitasi dan penyalahgunaan data. Ada yang lebih fundamental, yakni berkaitan dengan kualitas demokrasi.
Pentingnya privasi
Mendengar istilah privasi, biasanya kita membayangkan upaya untuk merahasiakan chat kita dengan seseorang agar tidak dibaca oleh orang lain atau memilih untuk meninggalkan ruangan yang ramai ketika menerima telepon agar percakapan kita tidak didengar oleh siapapun. Contoh tersebut tidak salah, namun tidak sepenuhnya menjelaskan makna privasi.
Dalam perspektif psikologi, seseorang dikatakan menjaga privasinya ketika ia menentukan sejauh mana ia ingin membuka atau menutup informasi tentang dirinya kepada pihak lain. Artinya, cakupan privasi dapat bervariasi, tergantung situasi dan tingkat kedalaman hubungan yang ia miliki dengan individu atau institusi.
Namun, satu hal yang pasti, privasi dapat melindungi kita dari pihak-pihak yang berupaya untuk mengontrol atau mengintervensi kita dengan cara membangun batasan (boundary) atas diri kita.
Di era digitalisasi dan informasi, privasi termasuk dalam kategori hak dasar karena mendasari hak-hak lainnya seperti kebebasan berpendapat, berekspresi dan berserikat.
Kini, masifnya penetrasi teknologi digital di kehidupan sehari-hari telah membuat perlindungan privasi semakin sulit ditegakkan. Sebab, digitalisasi lekat dengan kegiatan pengumpulan beragam informasi pengguna.
Fenomena ini disebut surveillance capitalism. Ini merujuk pada bagaimana teknologi “pintar” mengumpulkan data dari pengalaman personal manusia, baik melalui online browsing, aktivitas sosial media, segala pergerakan dan perpindahan lokasi, obrolan di dunia maya, serta ekspresi wajah, suara, teks, dan gambar, yang kemudian diterjemahkan sebagai data perilaku (behavioral data).
Data yang luar biasa besar dan banyak ini, selain digunakan untuk peningkatan kualitas produk dan layanan, juga digunakan sebagai masukan bagi produk kecerdasan buatan yang memprediksi perilaku kita.
Pengumpulan data pengguna yang masif oleh perusahaan teknologi menyebabkan adanya ketimpangan epistemik, yaitu distribusi pengetahuan atau informasi yang tidak merata karena perusahaan memiliki lebih banyak pengetahuan tentang kita daripada yang kita miliki tentang mereka. Perusahaan teknologi berpotensi secara aktif memengaruhi dan mengontrol perilaku kita tanpa kita sadari.
Sebagai ilustrasi, ketika hendak membeli produk perawatan kulit, lazim bagi konsumen untuk mencari ulasan produk melalui mesin pencari. Kemudian, laman mesin pencari atau akun media sosial konsumen akan dipenuhi oleh beragam iklan produk perawatan kulit sejenis yang sudah dipersonalisasi berdasarkan data tentang konsumen.
Tak jarang, keputusan pembelian konsumen berakhir dengan membeli produk yang berbeda dengan yang direncanakan atau bahkan membeli lebih dari satu produk akibat terpengaruh oleh iklan yang muncul. Bagaimana teknologi prediktif mengintervensi perilaku pengguna dan mengarahkannya ke keputusan yang menguntungkan bagi perusahaan juga berlaku pada iklan dan kampanye politik.
Perlindungan privasi cerminan kualitas demokrasi
Perlindungan privasi sangat penting tidak hanya untuk kepentingan individu tetapi juga untuk menjaga iklim demokrasi agar tetap kondusif. Kualitas demokrasi suatu negara ditentukan oleh kompetensi demokrasi, yaitu adanya kompetisi dan partisipasi masyarakat untuk memunculkan gagasan, argumen, dan diskursus. Diskursus tersebut terutama yang “kontroversial” dan heterogen karena hanya dengan demikian kompetisi dan partisipasi masyarakat menjadi lebih bermakna.
Agar dapat memunculkan gagasan dan diskursus yang berkualitas dan beragam, penting untuk memastikan bahwa masyarakat dapat menyampaikan pendapatnya secara otonom, independen, dan percaya diri. Di sinilah privasi berperan. Jaminan perlindungan atas privasi memungkinkan individu untuk berpikir dan mengekspresikan diri secara merdeka dan kreatif karena mereka tidak perlu mengkhawatirkan dirinya akan diamati, diintimidasi, atau didiskriminasi berdasarkan atribut yang melekat pada dirinya.
Sebagai contoh, apabila pemerintah di negara A selalu mengawasi masyarakat secara ketat serta tidak adanya jaminan atas perlindungan privasi, maka masyarakat akan membatasi kata kunci yang dicari di mesin pencari, buku yang dibaca, atau film yang ditonton karena mereka tahu mereka selalu dipantau.
Orang-orang akan berupaya tidak terlihat “mencolok” karena tidak ingin menerima konsekuensi seperti pengucilan atau bahkan sanksi karena mengakses informasi yang dilarang pemerintah. Implikasinya, individu tidak bisa mengembangkan personal autonomy, yaitu kondisi ketika seseorang berdaulat atas dirinya berdasarkan alasan, nilai, atau keinginan yang secara otentik datang dari dirinya sendiri. Akhirnya, terbentuklah masyarakat yang homogen dan seragam karena pengawasan yang dilakukan pemerintah menghalangi masyarakat untuk mengekspresikan diri dan mengembangkan ide-ide inovatif.
Dengan demikian, kompetensi demokrasi tidak akan terbentuk di tengah masyarakat yang tidak ada perlindungan atas privasi. Ketiadaan perlindungan privasi juga menyebabkan gagasan yang muncul dari individu tidak dinilai berdasarkan substansinya, melainkan berdasarkan atribut si pemberi gagasan yang rentan diskriminasi dan persekusi.
Sebagai contoh, seseorang dengan akun pseudonim (menggunakan identitas samaran) di Instagram mengkritik kebijakan pemerintah dengan kritik yang konstruktif. Namun, ia terkena doksing (menyebarkan informasi pribadi orang lain tanpa izin) sehingga suku, agama, atau bahkan orientasi seksual minoritas individu tersebut terungkap. Fokus warganet akan bergeser ke atribut tersebut ketimbang membahas substansi gagasannya.
Butuh upaya kolektif
Pemahaman umum yang berlaku saat ini adalah bahwa privasi adalah tanggung jawab pribadi: data saya adalah milik saya dan hanya saya yang dapat melindungi dan mengontrolnya. Jika data saya bocor, maka itu salah saya karena ceroboh.
Namun, pada dasarnya privasi adalah barang publik yang bersifat agregat, yaitu barang yang pemenuhannya bergantung kepada upaya kolektif dan berkelanjutan dari semua pihak. Singkatnya, privasi kita baru akan terlindungi apabila orang-orang di sekitar kita ikut menghormati dan menjaganya.
Kita pasti sering melihat bagaimana selebritas atau figur publik berupaya untuk menyembunyikan identitas anak atau keluarga mereka tetapi tetap bocor ke publik akibat fans atau wartawan yang tidak menghormati privasi yang telah mereka tetapkan. Karena sifatnya sebagai barang publik, maka perlindungannya pun tidak bisa dibebankan ke masing-masing individu.
Dalam konteks ini, peran pemerintah menjadi sangat penting, apalagi karena pemerintah juga berperan sebagai data controller atau entitas yang mengumpulkan data pribadi masyarakat, termasuk saat proses pemilu.
Kita patut merayakan pengesahan UU Perlindungan Data Pribadi sebagai langkah awal menuju ekosistem digital Indonesia yang lebih berdaulat, meskipun masih terdapat beberapa pekerjaan rumah yang perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Dalam konteks demokrasi elektoral, diperlukan penyesuaian terhadap aturan kampanye seiring dengan bergesernya lingkungan kampanye menjadi berbasis media digital. Transparansi dari semua aktor, mulai dari partai politik, pengiklan, dan platform digital, untuk memberikan informasi mengenai praktik pengumpulan data mereka, bagaimana data tersebut digunakan, dan bagaimana profil tersebut digunakan untuk menargetkan iklan politik kepada pemilih menjadi krusial.
Hal ini penting untuk memahami cara kerja kampanye politik sehingga dapat dipastikan tidak adanya penyalahgunaan data pribadi yang dilakukan.
Mirna Rahmadina Gumati, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.