OKTANA.ID– Luasnya jangkauan media sosial saat ini membuat kita paham dan menjadi semakin familiar dengan budaya masyarakat lain. Salah satu kebiasaan yang terkenal di media sosial adalah cancel culture.
Jika kalian tahu perihal kasus perselingkuhan Masahiro Higashide dengan Erika Katara dari Jepang atau kasus aktor Yoo Ah In asal Korea Selatan yang baru-baru ini terungkap melakukan penyalahgunaan propofol dan penggunaan ganja. Mereka semua yang melakukan kesalahan fatal ini akan langsung menjadi public enemy dan berujung pada cancellation. Cancellation sendiri merupakan sebuah aksi dari “cancel culture”
Namun, apa itu cancel culture?
Menurut Lisa Nakamura, profesor dari Universitas Michigan yang mendalami perihal koneksi digital media pada bangsa, gender dan sexualitas mengatakan melalui The New York Times pada tahun 2018 jika “cancellation“, merupakan “budaya boikot” pada selebriti, brand, perusahaan atau konsep tertentu.
Menurut University of Central Florida (UCF), Satu tema umum yang nampaknya disetujui oleh semua orang bahwa cancel culture melibatkan suatu sikap publik dalam melawan suatu individu atau institusi dalam aksi yang dianggap menyinggung. Aksi cancel culture ini dilakukan oleh massa di sosial media dengan cara menyerang akun pribadi, mereport, memblokir atau mengumpulkan massa lain dengan penggunaan hastag kepada seseorang yang telah menyalahi suatu norma.
Lalu bagaimana sejarah cancel culture?
Menurut Dr. Jill McCorkel, profesor sosiologi dan kriminologi Universitas Villanova jika cancel culture sebenarnya telah terjadi dari zaman dahulu. Dari New York Post, Ia mengatakan jika manusia telah menjalankan hukuman bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran norma sosial bahkan berabad-abad lalu. Cancel culture ini hanyalah salah satu dari varian hukuman tersebut. Jika dilihat, cancel culture memang dirancang untuk memperkuat seperangkat norma.
Pada dunia digital sendiri dikutip dari Vox, kata cancelling dari “cancel culture” pertama kali ditemukan dalam film New Jack City pada tahun 1991 yang muncul sebagai suatu lelucon bernada misogini oleh tokoh Nino Brown.
Kemudian kata cancelling semakin aktif digunakan dalam media sosial pada tahun 2014, saat salah satu cast VH1 Love and Hip Hop: New York menyebut “You’re Cancelled!” atau “Kamu dibatalkan!” pada salah satu scenenya.
Apakah cancel culture perlu dilakukan?
Mungkin di Indonesia sendiri, kita jarang melakukan cancel culture. Namun semenjak media sosial meluas, mendapatkan informasi baik dalam negeri maupun luar negeri semakin mudah untuk diakses. Hal ini membuat kita memahami budaya sosial dari masyarakat negara lain. Perlahan, kita juga mulai menerapkan cancel culture pada beberapa artis atau bahkan brand.
Penerapan cancel culture di setiap negara juga berbeda. Di Amerika Serikat, cancel culture dilakukan pada orang yang melanggar norma yang terbentuk di negara tersebut seperti kasus homophobic, seksisme, ataupun kekerasan. Namun orang yang terkena kasus cancel culture di Amerika beberapa masih dapat memiliki kesempatan kembali untuk berkarya, walaupun sulit.
Berbeda dengan kasus cancel culture di Korea Selatan. Budaya pemboikotan ini akan lebih kejam. Mereka yang terjerat cancel culture merupakan public figure yang melakukan bullying, narkoba, pelecehan seksual, mengemudi dalam keadaan mabuk dan perilaku amoral lainnya.
Selain melakukan hukuman dengan cara memberikan komentar buruk di media sosial, para warga Korea juga akan membuat petisi agar mereka tidak lagi muncul di media. Cancel culture di Korea Selatan pun lebih berdampak, seperti pembatalan projek, iklan bahkan yang terparah adalah penyensoran seluruh adegan yang menayangkan public figure yang bermasalah. Mereka yang telah terboikot seperti itu dapat dipastikan tidak bisa kembali untuk berkarya, sampai terdapat bukti yang membantah perbuatannya muncul.
Sisi positif dan negatif dari cancel culture
Cancel culture sebenarnya dapat menjadi polisi moral bagi masyarakat. Apalagi, bagi public figure yang notabene menjadi tokoh panutan bagi masyarakat. Cancel culture membuat para public figure harus memikirkan secara matang sebelum mereka memberikan statement dan berperilaku sehingga tidak menyalahi norma dan hukum yang berlaku. Masyarakat juga diminta menjadi pengawas sebagai bagian dari aksi cancel culture ini.
Namun menurut Psikolog dari Universitas Gajah Mada, Koentjoro dilansir dari CNN Indonesia bahwa perilaku cancel culture dapat berujung pada perilaku main hakim sendiri yang dilakukan orang secara berkelompok di media sosial. Menurutnya, cancel culture juga dapat merusak kebebasan berbicara.
“Kritik memang bagus, tapi kalau berakhir memboikot atau cancel culture begini kan sama saja dengan mengekang kebebasan berbicara,” terangnya.
Penulis: Chantika
Editor: Srinan