OKTANA.ID– Meskipun kalender yang berada di rumah masing-masing orang, telah menunjukkan bahwa penetapan Hari Raya Idul Fitri 1944 H atau bertepatan dengan 1 Syawal 1944 H telah bertuliskan jatuh pada tanggal 22 April 2023, namun di tahun ini ternyata untuk pelaksanaan sholat Idul Fitrinya antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama berbeda. Kadangkala, tak hanya penetapan Hari Raya Idul Fitri saja, namun untuk penetapan pelaksanaan 1 Ramadan pun juga demikian.
Dalam pelaksanaannya, Muhammadiyah sehari lebih awal daripada golongan Nahdlatul Ulama. Terkait info lebih lanjut mengenai fakta di balik berbedanya, penetapan Idul Fitri maupun 1 Ramadan yang kerap kali tidak sama dan menimbulkan berbagai macam pertanyaan, yuk simak penjelasannya dibawah ini ya!
Perbedaan penetapan awal Idul Fitri atau 1 Syawal dan juga penetapan 1 Ramadan merupakan sebuah perbedaan yang wajar dan harus dihormati. Perbedaan penetapan tersebut tentunya bukan sekadar asal-asalan untuk ditentukan, melainkan sudah melalui proses perhitungan dan pertimbangan yang telah dimusyawarahkan matang-matang. Perbedaan penetapan tanggal tersebut, tentunya dapat terjadi karena perbedaan metode penetapan yang dilakukan, baik antara Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama (NU). Yang mana perlu diketahui bahwa, dalam menetapkan tanggal 1 Ramadan maupun tanggal 1 Syawal, tentunya dari organisasi Muhammadiyah maupun NU sendiri telah memiliki metode masing-masing. Sebagai umat Islam yang mennjunjung sikap toleransi yang tinggi, tentunya kita harus menghargai perbedaan yang ada.
Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan masing-masing tersebut, tentunya membuat Organisasi Islam Muhammadiyah telah menetapkan, bahwa untuk 1 Ramadan 1444 H jatuh pada Kamis, 23 Maret 2023 kemarin, sedangkan untuk penetapan Hari Raya Idul Fitri 1444 H jatuh pada Jumat, 21 April 2023 mendatang. Di sisi lain, untuk Nahdlatul Ulama (NU) yang berada dinaungan Kementerian Agama (Kemenag) atau pemerintah, secara resmi belum menetapkan awal tanggal awal Ramadan dan juga 1 Syawal atau Idul Fitri. Karena biasanya, mereka akan menetapkan awal Ramadan dan 1 Syawal dengan mengamati hilal (bulan) terlebih dahulu secara langsung. Yang kemudian dari pengamatan hilal tersebu akan ditetapkan melalui sebuah rapat bersama, yakni biasa dikenal dengan sidang Isbat. Untuk penetapan 1 Ramadan maupun 1 Syawal yang kerap kali sering berbeda, tentunya hal tersebut dijadikan untuk sebagai toleransi antar sesama.
Dilansir dari data dan penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Agama (Kemenag), yang menyatakan bahwa penyebab perbedaan tersebut, tentunya dapat ditinjau dari aspek metodenya. Untuk Nahdlatul Ulama (NU), dalam penetapannya menggunakan metode rukyat, yakni dengan mengamati hilal atau bulan 1 Ramadan maupun 1 Syawal secara langsung. Tak hanya itu saja, metode yang digunakan untuk pengamatan hilal tersebut tentunya, didasarkan pada pemahaman yang menyatakan, bahwa nash-nash tentang rukyat itu bersifat ta’abbudiy dijelaskan bahwa, nash tersebut ada di dalam al-Quran yang dapat dipahami sebagai perintah rukyat, yaitu yang termuat dalam QS. Al-Baqarah ayat 18 tentang perintah berpuasa Ramadan dan QS. Al-Baqarah ayat 189 tentang penciptaan ahillah. Tentunya selain itu, juga didukung dengan adanya 23 hadist yang menjadi dasar tentang rukyat, yang mana hadits-hadits tersbeut telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ahmad bin Hambal, ad-Darimi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Malik, dan lainnya. Nahdlatul Ulama (NU) juga memiliki pandangan, bahwa dasar rukyat tersebut dipegangi oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ittabi’in, dan empat madzhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan juga Hambali.
Sedangkan untuk Muhammadiyah sendiri, dalam penetapannya tersebut dengan menggunakan metode hisab (perhitungan). Yang jelas pada 2 kelompok ini, tentunya akan sulit apabila disatukan karena mempunyai alasan fikih masing-masing yang tentunya tidak sama dengan yang lain. Didalam beberapa ayat Al-Qur’an pun, juga telah ditemukan kata kunci hisab yang berarti perhitungan, sebagai contoh didalam QS Ar-Rahman ayat 5 yang menjelaskan tentang matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Didukung pula dengan QS Yunus ayat 5 yang arti dari suratnya, yakni “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).”
Dengan penjelasan fikih tersebut, tentunya membuat penetapan 1 Ramadan maupun 1 Syawal dapat dilakukan dengan melalui metode hisab, yang menggunakan sistem perhitungan tanggal. Pernyataan tersebut tentunya juga ditegaskan oleh salah satu perwakilan dari Muhammadiyah, yakni Oman yang menyatakan bahwa bulan dan matahari beredar menurut perhitungan. Sehingga dari situ dapat memprediksi, mengukur dan juga menentukan dengan pasti yang lebih akurat.
Walaupun pada akhirnya, untuk penetapan 1 Syawal atau Hari Raya Idul Fitri telah ditentukan bahwa Muhammadiyah telah menetapkan 1 Syawal jatuh pada Hari Jumat, 21 April 2023 mendatang dan untuk 1 Ramadan telah ditetapkan pada tanggal 23 Maret 2023 kemarin yang kebetulan bersamaan dengan tanggal penetapan Nahdlatul Ulama (NU) yang juga jatuh pada tanggal 23 Maret 2023 kemarin. Namun, untuk penetapan 1 Syawal pihak dari Nahdlatul Ulama (NU) belum memberikan informasi yang secara resmi. Hal tersebut karena pihak dari Nahdlatul Ulama (NU) yang berada dibawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) RI, masih belum melakukan pengamatan secara langsung terkait hilal atau hulan 1 Syawal. Sehingga, perlu dilakukannya pengamatan terlebih dahulu pada saat sore menjelang malam takbir dan nantinya hasil terkait dari pengamatan tersebut akan diputuskan melalui sebuah rapat, yakni sidang Isbat.
Dan pastinya walaupun terdapat adanya perbedaan pada penetapan Idul Fitri atau 1 Syawal, antara Muhammadiyah dan NU tetap harus menjunjung tinggi toleransi antar sesama.
Penulis: Erika
Editor: Srinan