Ada kalimat arif tentang pertengkaran dan perkawinan, bahwa pertengkaran yang baik merupakan bumbu utama untuk membangun perkawinan yang baik (a good fight is an essential ingredient to building a good marriage). Ini berarti, semakin baik mutu pertengkaran, semakin baik pula mutu pertemanan, persahabatan, percintaan, ataupun perkawinan kita.
Ini sama sekali benar bila perkawinan juga kita hayati sebagai perbincangan dan bahkan pertengkaran seumur hidup. Nyatanya memang pertengkaran hampir mustahil dihindari. Secara sosiologis, pertengkaran adalah gejala wajar, sewajar cengkerama. Jadi, alih-alih terpasung oleh keharusan menghindari pertengkaran, lebih baik kita nikmati dan tingkatkan mutu pertengkaran kita.
Seperti apa pun kejadian, senantiasa ada unsur proses dan hasil. Pun pada pertengkaran. Tinggi-rendah pertengkaran, ditakar berdasarkan mutu proses dan hasilnya. Agar lebih mudah memahami dan bersemangat memperbaiki mutu pertengkaran, tolok-ukur hasil perlu didahulukan.
Suatu pertengkaran akan bermutu bila menghasilkan dua macam pengertian atau pemahaman. Pertama, berhasil meningkatkan kesanggupan mawas diri (introspective understanding). Mawas diri berarti kesanggupan melihat dan mengakui kesalahan, kekurangan, keterbatasan dan kelemahan diri sendiri.
Ragam penyebab dan atau pemicu pertengkaran, acapkali berasal dari diri kita sendiri. Ketidakpedulian, keengganan, kemalasan, perkataan, perilaku, tindakan, dan bahkan pencapaian diri kita sendiri, sangat bisa menjadi penyebab dan pemicu pertengkaran.
Tepat. Lawan pertengkaran kita, ternyata adalah kawan yang menunjukkan kelemahan dan kekurangan kita. Lawan pertengkaran kita, ternyata adalah jalan menuju pemahaman mendalam terhadap diri sendiri. Hanya dengan pemahaman mendalam terhadap diri sendiri, maka terbuka kemungkinan mengenali bagian-bagian tak sempurna dari diri kita, untuk kemudian secara sadar berbenah diri.
Bila sudah mengenal sifat dan kebiasaan sendiri yang acap menjadi penyebab dan pemicu pertengkaran dan bahkan pertikaian, maka keputusan ada di tangan anda. Mempertahankan agar senantiasa bertengkar, atau berbenah diri menuju kedamaian antar-pribadi (interpersonal peacefulness).
Suatu pertengkaran disebut bermutu manakala juga menghasilkan jenis pemahaman kedua, yaitu: kesanggupan memahami orang lain atau tepa-selira (empathic understanding). Tepa selira berarti kesanggupan memandang, memahami, menghayati, dan merasakan kenyataan, masalah, dan persoalan dari sudut pandang orang lain.
Ragam penyebab dan atau pemicu pertengkaran, acapkali berasal dari pasangan interaksi kita. Ketidakpedulian, keengganan, kemalasan, perkataan, perilaku, tindakan, dan bahkan pencapaian pasangan interaksi kita, sangat bisa menjadi penyebab dan pemicu pertengkaran dan bahkan pertikaian.
Begitulah. Lawan pertengkaran kita adalah kawan yang membukakan jendela bagi kita agar bisa dipahami secara lebih baik. Manakala membuahkan empati, maka pertengkaran sejatinya adalah jalan pintas, tanpa psikotes, menuju pemahaman mendalam terhadap dirinya. Buka naluri, nalar, dan nurani anda. Pertengkaran adalah pintu rahasia menuju bagian-bagian tersembunyi dan tak terkatakan dari pasangan interaksi anda. Selanjutnya — kompas dan haluan interaksi — terserah anda.
Sekadar penutup, pertengkaran berulang karena pemicu dan penyebab yang sama, adalah penanda mutu pertengkaran kita tidak meningkat. Jadi, pastikan agar pertengkaran anda esok hari, harus terjadi karena pemicu dan penyebab yang berbeda. Sugeng padu. Nuwun.
Sakban Rosidi Saminoe
Kepala Pusat Pengembangan Program Pascasarjana IKIP Budi Utomo Malang