OKTANA.ID, Surabaya- Hari raya Idulfitri atau yang dikenal dengan lebaran menjadi momen yang dinanti setelah sebulan penuh menjalankan puasa. Lebaran identik dengan bagi-bagi angpau yang dikemas dengan amplop lucu berwarna-warni. Lalu, dari mana munculnya kebiasaan memberikan angpau saat lebaran ini?
Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) Moordiati SS MHum mengatakan bahwa tidak ditemukan adanya catatan sejarah mengenai angpau lebaran. Tapi ada cerita bahwa sosok kaisar yang datang ke Jawa dan memberi uang tapi sebagai tanda tali asih. Hal ini semakin berkembang dan diadopsi menjadi orang yang lebih tua memberi kepada yang lebih muda sebagai tanda kasih sayang. “Kemudian kalau tidak ada angpau saat lebaran rasanya hambar,” katanya.
Akulturasi Budaya
Pada budaya Islam tidak ada mengenai hal ini. Pemberian angpau saat lebaran merupakan hasil dari perpaduan antara budaya Islam dan tionghoa. “Pemberian ini sebenarnya adopsi dari kebudayaan Islam dan tionghoa. Hasil akulturasi ini yang berkembang sampai saat ini,” terangnya.
Moordiati menambahkan bahwa dahulu pemberian angpau pada lebaran sebagai hadiah dari orang tua kepada anaknya karena telah menjalankan puasa sebulan lamanya. Namun seiring berjalannya waktu sesuatu yang orang anggap hadiah kini menjadi keharusan.
“Lama-lama kemudian ini tidak lagi sebagai hadiah ya. Sekarang kalau tidak memberi angpau kesannya bukan seperti hari raya,” paparnya.
Pemberian angpau lebaran juga dapat menjadi gambaran status sosial seseorang. Apabila status sosialnya tinggi maka nominal uang yang diberikan akan semakin tinggi. “Sekarang sudah ada kategorinya, bisa dikatakan status sosial semakin tinggi tidak memberi 5 ribu tapi 50 ribu misalnya,” ujarnya.
Penggunaan Uang Baru
Pemberian angpau lebaran menggunakan uang baru saat ini sedang tren. Bahkan jasa penukaran uang menjelang lebaran tengah menjamur di berbagai daerah. Tren ini ternyata berkembang sekitar tahun 90an, masyarakat lebih nyaman menggunakan uang baru dari pada uang lama karena menganggap lebih pantas.
“Hari raya yang identik dengan sesuatu yang suci. Makanya semuanya serba baru seperti baju, sepatu, hingga uang baru,” jelasnya. “Orang berpikiran bahwa alangkah lebih baik memberi seseorang dengan sesuatu yang baru dari pada yang lama. Makanya jasa penukaran uang baru sekarang sedang menjamur,” imbuhnya.
Meski demikian dampak positif dan negatif tetap mengiringi berjalannya budaya ini. Dampak positif dari pemberian angpau lebaran dapat meningkatkan semangat untuk bersilaturahmi. Namun Moordiati menuturkan silaturahmi tidak lagi dengan niat sebagai silaturahmi saja. “Negatifnya niat silaturahmi jadi tidak murni dan hal ini tidak mendidik,” tuturnya.
Sementara dampak negatif dari pemberian angpau ialah menjadikan mental seseorang menjadi mental seorang peminta. “Ini menarik karena dapat menjadikan mentalitas seseorang sebagai peminta. Jadi ke rumah sanak saudara meminta untuk diberi uang. Meskipun saat pemberian ada aturannya harus baris-berbaris atau lainnya,” tutupnya.
Editor: Beatrix