OKTANA.ID– Sebuah alat ukur persahabatan (friendship scale) yang dikembangkan Hawthorne dan Griffith (2000), mengajukan hanya lima pertanyaan, tetapi penting, yaitu: (1) apakah anda merasa mudah bergaul dengan orang lain, (2) apakah anda merasa kesepian, (3) apakah anda memiliki seseorang untuk berbagi perasaan, (4) apakah merasa mudah melakukan kontak dengan orang lain, dan (5) apakah merasa menjadi beban bagi orang lain.
Sesiapa pun, setelah mencermati butir pertanyaan tersebut, akan setuju bahwa medahului perkenalan, kemudian pertemanan, persahabatan atau bahkan percintaan, harus ada prasangka baik terhadap orang lain. Mustahil membayangkan seseorang mau berkenalan, berteman dan bersahabat dengan seseorang tanpa dilandasi prasangka baik. Mustahil pula membayangkan sebuah perkenalan, pertemanan dan persahabatan bisa berlanjut lestari, tanpa dilandasi oleh kehendak, niat atau itikad baik.
Begitulah. Seperti pernah saya singgung dalam tulisan pendek tentang etika sosial, dua kaidah kebaikan, prasangka dan kehendak baik atas tingkahlaku baik. Analisis filosofis normatif, sebagaimana para pemikir etika membuktikan, kaidah prasangka dan kehendak baik harus hadir mendahului dan bahkan mendasari semua kaidah moral lain. Artinya, bila dan hanya bila kaidah dasar sikap baik telah diterima tanpa syarat, maka semua kaidah lain akan memperoleh pembenaran nalar. Tanpa landasan prasangka dan kehendak baik, buat apa harus menghiraukan pelbagai tuntutan moral lain? Buat apa kejujuran kalau hendak merampok? Buat apa sopan kalau hendak menipu? Buat apa tegas kalau hendak menindas?
Sungguh, kaidah dasar ini bermakna sangat wigati bagi kehidupan manusia. Tetapi, bersyukur, ternyata kaidah dasar tersebut sudah melekat dalam dasar bangunan jiwa manusia. Betapa tidak? Diri kita tak diragukan lagi bisa dengan nyaman, tanpa kekhawatiran bertemu dan berkenalan dengan orang lain. Mengapa bisa begitu? Tidak lain karena dalam dasar bangunan jiwa manusia terdapat keyakinan bahwa setiap orang lain, kecuali punya alasan khusus, mustahil secara langsung merugikan atau mengancam diri kita.
Dengan sikap dasar tersebut, kita niscaya mengandaikan bahwa yang memerlukan alasan kuat sebenarnya bukan prasangka dan kehendak baik, melainkan justru prasangka dan kehendak buruk. Kebaikan tidak memerlukan alasan. Justru kejahatan yang niscaya memerlukan alasan. Bahkan untuk sekedar menggunjing orang lain, kita membutuhkan alasan. Apalagi untuk tindakan seperti memukul, menyakiti, ataupun membunuhnya. Semua itu butuh alasan sangat kuat.
Luar biasa, ternyata sikap wajar dan normal manusia adalah bersedia menerima dengan baik dan membantu orang lain. Justru sama sekali tak wajar dan tak normal bila sikap dasar manusia adalah kehendak memusuhi apalagi hingga menyakiti atau membunuh. Manusia tak butuh alasan untuk berteman, bersahabat, menolong, dan bahkan mencintai. Tetapi jelas butuh alasan atau motif kuat dan jelas untuk menolak, memusuhi, menjerumuskan dan atau membenci orang lain.
Dasar bangunan jiwa manusia adalah baik. Karena itu, bukan keanehan kalau kadang kita mendapatkan pertolongan dari orang lain yang bahkan kita belum atau baru mengenalnya. Andai saja — tapi sebaiknya seluruh umat manusia berdo’a tidak terjadi — sikap dasar manusia itu negatif, maka sesiapa pun niscaya akan kita lihat dengan penuh kecurigaan, akan kita lihat sebagai ancaman.
Akhirnya, keberadaan prasangka dan kehendak baik dalam diri manusia tak hanya dapat dipahami dengan jernih oleh nalar manusia, tetapi sebenarnya juga menegaskan suatu kecenderungan dasar yang sudah melekat dalam watak jiwa manusia. Karena itu, kehadirannya menjadi dasar pembenaran bagi kehadiran nilai-nilai lain yang lebih bersifat kepirantian. Prasangka dan kehendak baik harus mewarnai segala sikap nyata, tindakan nyata, dan laku nyata. Dengan cara demikian, prasangka dan kehendak baik menjadi penakar bagi setiap laku baik.
Walhasil, kecuali memiliki alasan khusus, kita harus menghampiri sesiapa dan apa pun dengan prasangka baik, sikap positif, dan kehendak baik, dengan meniatkan kebaikan bagi dirinya. Tentu saja, pemaknaan atas kaidah ini tidak sempit sebatas perbuatan baik tertentu, melainkan meluas pada prasangka dan kehendak baik terhadap orang lain.
Sakban Rosidi Saminoe
Kepala Pusat Pengembangan Program Pascasarjana IKIP Budi Utomo Malang