OKTANA.ID, Kediri– Sejak pandemi Covid-19, ketiga pemuda di Pare ini tak mau menyerah begitu saja. Banyaknya pembatasan aktivitas karena wabah itu membuat Nesti, Samsul, dan Anggi membangun komunitas Lare Pare Berkebun.
Hanya bermula dari hobi berkebun, ketiga pemuda ini saling bertukar informasi dan pengalaman tentang pemanfaatan lahan sempit di rumah mereka. Intensitas obrolan tersebut, membuat ketiga pemuda ini tergerak untuk membangun ekosistem komunitas yang manfaatnya lebih luas lagi.
“Lare Pare Berkebun awalnya karena kami suka berkebun waktu pandemi. Kami bertiga dengan Samsul dan Anggi. Kita berkebun sendiri-sendiri. Akhirnya kami berbagi informasi tentang bertani di lahan sempit, pengelolaan sampah rumah tangga, dan edukasi lingkungan untuk anak-anak,” terang Nesti, salah satu inisiator Lare Pare Berkebun.
Ternyata, ketiga pemuda ini punya hasrat kemelekan atau literasi yang membuat sebuah metode kampanye untuk melestarikan lingkungan hidup. Siapa sasarannya? Nesti menuturkan bahwa mereka ingin memupuk kesadaran tentang alam dan lingkungan ini kepada anak – anak.
Seperti dengan mengenalkan jenis tumbuhan sekitar. Tak hanya itu, mereka juga membuat cerita dongeng sendiri untuk anak-anak sekitar.
Hal ini ditunjang dengan pengalaman Nesti yang juga banyak bergerak di Gerakan Mendongeng Indonesia sejak masa kuliah di Malang.
“Aku sendiri dari komunitas dongeng, Gerakan Mendongeng Indonesia di Malang dari zaman kuliah 2016-2019. Ketika kembali ke sini (Pare,red) aku join beberapa komunitas. Salah satunya, pada komunitas Lare Pare Berkebun. Kami mendistribusikan dongeng untuk anak-anak. Karena basisku dongeng, maka yang bisa kuusulkan pesan mengenai lingkungan dalam bentuk dongeng. Dan sudah berkali-kali mendongeng di pare. Cerita yang sudah kami buat ada tiga, semua terkait lingkungan dan alam,” imbuh perempuan yang juga pegiat literasi di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Halaman Baca.
Dongeng dengan judul “ Monster Gersang” pernah dibuat dengan alur cerita tentang isu kerusakan alam dan hilangnya tempat bermain anak di lingkungan sekitar. Seperti, adanya lahan kosong yang semestinya bisa digunakan untuk bermain, justru menjadi tumpukan sampah yang kumuh dan kotor.
Meskipun sudah berjalan dua tahun, mereka merasakan adanya kendala dalam berkomunitas. Yakni, soal regenerasi untuk beraktivitas di komunitas. Menurut Nesti, hal ini juga dirasakan komunitas yang lain juga.
“Kendala mungkin regenerasi oleh semua komunitas, akhirnya kami ya join sama komunitas lain di Pare. Jadi kolaborasi sejauh ini dengan komunitas lain,” imbuhnya.
Ia bersyukur beberapa komunitas di Pare mulai giat untuk melakukan kolaborasi untuk membangun ekosistem berkegiatan. Sehingga, dalam setiap kegitan yang digagas bersama komunitas, Lare Pare Berkebun mendapatkan ruang untuk menyuguhkan dongeng untuk anak-anak.
“Kayak agenda 17 Desember kemarin, kegiatan Pare Foto Hore, sekarang komunitas di pare punya tajuk Literasi Alam Raya (LIAR) dulu diisi musik dengan segmentasi dewasa. Aku pernah sekali mendongeng salah satu agenda di Pare, sejak itu juga dongeng selalu disisipkan. Kalau pas banyak massanya jadi bikin teatrikal dongeng tentang monster gersang mengangkat isu kerusakan tempat bermain anak-anak, karena dibangun bangunan-bangunan kalau ada lahan kosong jadi tempat sampah. Kemungkinan keberlanjutan kegiatan di Pare akan melibatkan untuk anak-anak, karena regenerasi ke anak-anak itu salah satunya dengan cerita,” pungkas perempuan berkacamata ini. (Bae/Dwo)