OKTANA.ID, Jakarta– Perjuangan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan hal mudah. Meskipun sudah memproklamasikan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, beberapa ancaman dari dalam maupun luar negeri masih membayangi keutuhan Indonesia. Seperti peristiwa agresi militer Belanda hingga pemberontakan yang terjadi di beberapa daerah Indonesia, termasuk pemberontakan DI/TII pada tahun 1960-an.
Salah satu kisah haru dan heroik muncul di tengah pemberontakan DI/TII tentang KH Zainul Arifin Pohan. Yakni, seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang gugur terkena tembakan peluru teror DI/TII ketika salat Idul Adha bersama Presiden Soekarno pada 14 Mei 1962.
Cerita ini muncul ke permukaan kala Anies Baswedan tepat pada 1 abad N berzairah ke makam K.H. Zainul Arifin Pohan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata. Menurutnya, beliau merupakan salah satu penggerak (muharrik) NU awal di Jakarta dan pahlawan bangsa.
“Presiden RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menggambarkan beliau dengan bangsawan yang ber-NU melalui jalur kemerdekaan,” tulis Anies dalam akun resmi instagramnya.
Tokoh NU kelahiran Barus, Sumatera Utara, pada 12 September 1909 ini merupakan anak tunggal Raja Barus, Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus. Ketika remaja, KH Zainul Arifin Pohan merantau ke Batavia. Ia langsung bergabung di Gerakan Pemuda (GP) Ansor, dan kemudian menjadi Ketua NU Jatinegara dan Majelis Konsul NU Batavia.
“Pada masa revolusi Indonesia, K.H. Zainul Arifin menjadi panglima Hizbullah. Dia merekrut dan melatih anak-anak muda di desa-desa untuk menjadi pejuang bangsa,” imbuh Anies.
Tak hanya itu, KH Zainul Arifin Pohan juga mewakafkan seluruh waktu dan energinya untuk NU dan Republik. Terlibat sangat aktif dalam berbagai posisi dan tugas di NU dan kenegaraan. Mulai dari Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), wakil perdana menteri pada kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955), anggota konstituante, dan terakhir menjadi Ketua DPR-GR sebagai perwakilan NU.
Saat puncak pemberontakan DII/TII pada kurun 1960-an, K.H. Zainul Arifin beserta NU menyatakan sikap tetap memihak Republik Indonesia. Meskipun beredar kabar berbagai upaya pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, K.H. Zainul memilih melindungi sang presiden. Sehingga akhirnya pada 10 Dzulhijjah 1381 H/14 Mei 1962. Pada rakaat kedua KH Zainul Arifin terkena peluru yang ditembakkan anggota DII/TII yang ikut shalat Idul Adha; peluru tersebut mestinya mengenai Presiden Soekarno.
Tugasnya melindungi Presiden terlaksana, tetapi kesehatannya terus menurun. Beliau syahid pada 2 Maret 1963. Negara mengangkatnya menjadi pahlawan kemerdekaan nasional. Dan, namanya diabadikan menjadi salah satu jalan di Jakarta, tepatnya jalan K.H. Zainul Arifin, Jakarta Pusat.
“Kisah K.H. Zainul Arifin ini adalah cerminan dari bagaimana NU mewarnai Indonesia. Tak pernah mundur selangkah pun untuk urusan keislaman dan keindonesiaan. Kini, NU siap menghadapi abad kedua yang penuh dengan tantangan. Insya Allah NU senantiasa merawat jagat, membangun peradaban,” pungkas Anies. (Fai/Dwo)