OKTANA.ID, KEDIRI– Pram meminta untuk disuapi havermut dan sebatang batang yang ditempelkan pada mulut. Pram yang menahan rasa sakitnya, ia sempat dua kali mengerang sebelum mengembuskan napas terakhir.
“Dorong saja saya,” ucap Pram pukul 02.00 WIB.
“Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang!” kata terakhir Pram pada 30 April 2006 pukul 05.00 WIB. Itulah ingatan dari Soesilo Toer, adik bungsu Pramoedya Ananta Toer yang menemani sang kakak meninggal dunia pada 30 April 2006 pada pukul 09.15 WIB.
Sepenggal kisah tentang Pramoedya Ananta Toer, sastrawan legendaris Indonesia itu diceritakan oleh Soesilo Toer, adiknya. Cerita ini tertuang dalam penelitian berjudul Gagasan Nasionalisme Pramoedya Ananta Toer dalam Karya Tetralogi Buru, 2017. Termasuk masa kecil Pram, panggilannya dan darah asli yang berasal dari Kediri, Jawa Timur.
Pramoedya lahir pada 6 Februari 1925 di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Ia merupakan anak pertama dari pasangan suami istiri (pasutri) Mastoer dan Saidah. Ayah Pram, merupakan anak dari penghulu dulu di Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. Darah Kediri yang mengalir dari ayahnya, Mastoer yang berprofesi sebagai guru pemerintah di Kediri. Hingga, akhirnya Mastoer hijrah ke Rembang dan mempersunting Saidah, anak seorang penghulu di Kabupaten Rembang.
Pram sendiri sebenarnya merupakan keturunan priyayi pasangan guru dan putri tengah seorang petinggi keagamaan di Rembang. Ibunya itu merupakan murid dari ayahnya di Holandse Indische School (HIS) atau sekolah dasar pemerintah Hindia Belanda. Pada saat mereka menikah, ia berusia 18 tahun dan Mastoer sudah berumur 32 tahun.
Dalam sebuah wawancara, Soesilo Toer menyebut Mastoer memang berasal dari Kediri. Ayahnya merupakan pasangan Imam Badjoeri dan Sabariyah lahir dan besar di Kediri. Baru setelah lulus sekolah tingkat dasar, Mastoer akhirnya menimba ilmu di Kweekschool, Jogjakarta.
Mulanya, Mastoer bermimpi menjadi seorang penghulu seperti Imam Badjoeri. Sehingga, ia ingin menjadi santri di salah satu pondok pesantren. Impian itu kandas karena nasihat sang ayah. Imam Badjoeri mengingatkan tanggung jawab Mastoer sebagai anak laki-laki tertua. Akhirnya, ia pun berubah haluan dan akhirnya bersekolah formal di Kweekschool, Jogjakarta. Lulus dari sekolah, Mastoer muda sempat menjadi guru dan mengajar di Kediri.
“Dua tahun Pak Mastoer di Kediri,” kata Soesilo Toer.
Ingatan Pram tentang Sang Orang Tua
Dalam sebuah wawancara tahun 1992, Pramoedya Ananta Toer sempat menceirtakan tentang peran orang tuanya. Khususnya, tentang bagaimana kedua orang tua Pram merawat dan mendidiknya di Blora, Jawa Tengah.
Menurutnya, Mastoer merupakan seorang guru dari kalangan nasionalis kiri. Dan itu berpengaruh terhadap Saidah, ibunya yang merupakan keturunan penghulu di Rembang, Jawa Tengah.
“Jadi pendidikan saya ialah nasionalis kiri sejak kecil,” ungkap Pram dalam wawancara tesebut.
Terutama sang ibu. Pram sangat mengenang apa yang diajarkan Saidah, ibunya. Termasuk tentang belajar dan bekerja. Pram mendapatkan wejangan dari ibunya untuk melanjutkan sekolah ke Eropa. Akan tetapi, ia tak meneruskan pendidikan ke Eropa. Ia hanya melanjutkan ke perguruan tinggi di Surabaya dan Jakarta. Ia bersyukur beberapa saudaranya berangkat ke Eropa untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Seperti Soesilo Ananta Toer yang meraih gelar doktor di Uni Soviet.
“Ibu saya seorang ibu ideal bukan karena saya anaknya. Tapi makin lama saya kenang, apa yang dilakukan didikannya saya semakin hormat,” imbuh penulis Bumi Manusia ini.
Pram juga menceritakan bahwa ia sempat malu pada masa kecilnya. Karena, Pram menjadi seorang penggembala kambing. Ia malu karena diejek oleh murid sekolah gubermen. Namun, jawaban Saidah justru membuat Pram semakin kuat dan menyayanginya.
“Saya mengadu ke ibuk saya. Ibu saya bilang, yang harus malu itu mereka. Karena mereka takut pada kerja. Kau kan kerja. Kau tidak boleh malu nggak berani kerja. Semua orang yang bekerja adalah mulia. Yang tidak bekerja tidak punya kemuliaan,” kata Pram.
Bahkan, Pram juga mendapatkan nasihat dari Saidah agar ia tak menjadi pegawai negeri.
“Jangan jadi pegawai negeri, jadilah majikan atas dirimu sendiri. Jangan makan keringat orang lain, makanlah keringatmu sendiri. Dan itu dibuktikan dengan kerja,” imbuhnya.
Sedangkan sang ayah, Mastoer, dinilai Pram sebagai lelaki yang konsisten terhadap sikap politis dan liberal. Ia juga mengenang Mastoer juga sebagai seorang pengarang atau penulis.
“Waktu kecil saya menggembala kambing dengan teman-teman main kartu, kebetulan ayah lewat dan melihat itu. Berhenti. Jangan teruskan. Walaupun dia judi. Kalau kau sudah bisa mempunyai penghasilan sendiri, perbuatlah semuamu dengan penghasilanmu. Tapi kau belum punya penghasilan apa-apa, berhenti. Liberal toh itu. Dan ayah saya sendiri juga pengarang. Puisi prosa dalam Bahasa Jawa, Belanda, Melayu. Dan juga lagu-lagu. Ada satu lagunya sampai tahun 50an masih popular tapi sudah diterjemahkan. Dia menulisnya dalam Bahasa Belanda. Petruk gareng and semar. Dua baris saja saya ingat. Sudah selanjutnya saya nggak ingat,” pungkasnya.