OKTANA.ID – Tunjangan Hari Raya (THR) biasanya akan kita dapatkan ketika hari raya keagamaan tiba. Melansir dari laman Kompas.com, THR sendiri sebenarnya adalah pendapatan di luar gaji pekerjaan yang wajib dibayarkan kepada pekerja atau anggota keluarga saat akan merayakan hari raya. Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa kepercayaan yang dianut oleh masyarakat sehingga bentuk THR yang diberikan biasanya juga akan menyesuaikan dengan agama yang dianut oleh penerimanya. Saat datangnya waktu pembagian THR tentunya akan merasakan uforia tersendiri bagi setiap orang yang menerimanya. Namun, apakah kamu tahu bagaimana sejarah dari tradisi pemberian THR ini? Begini penjelasannya:
Di dunia pekerjaan sendiri, THR umumnya akan diberikan kepada para pekerja yang sudah bekerja selama setahun atau lebih. Sedangkan bagi pekerja yang memiliki masa kerja kurang dari setahun maka akan menerima THR sesuai dengan perhitungan yang diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. Menilik Surat Edaran dari Kementerian Ketenagakerjaan RI Tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2023 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan pada laman jdih.kemnaker.go.id, telah dijelaskan terkait teknis perhitungan THR bagi pekerja yang memiliki masa kerja kurang dari setahun. Masa kerja (bulan) × 1 bulan upah / 12. Dengan perhitungan tersbeut akan muncul jumlah THR yang akan dibayarkan perusahaan kepada karyawan.
Biasanya, terdapat pula perusahaan yang memberikan THR berbentuk parsel atau sembako yang mana akan disesuaikan dengan nominal THR yang diberikan. Selain itu, Kemnaker juga telah mengeluarkan aturan bahwasanya pemberian THR ini sudah harus diberikan kepada para pekerja maksimal tujuh hari sebelum tanggal hari raya keagamaan. Hal ini merujuk pada Peraturan Menaker Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Adapun sejarah dari pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) di Indonesia ternyata bermula ketika Perdana Menteri Indonesia ke-6 Bapak Soekiman Wirjosandjodjo yang memperkenalkan konsep pemberian THR ini. Pada masa pemerintahan kala itu, THR menjadi bagian dari program kesejahteraan untuk pamong praja yang saat ini disebut sebagai PNS. Tujuan dari program ini adalah untuk merangsang para PNS agar memberikan dukungan kebijakan/progam yang digagas pemerintah. Praktiknya, THR akan diberikan dalam bentuk pinjaman yang nantinya akan dikembalikan melalui pemotongan gaji. Sebagai informasi, ternyata pemberian tunjangan hari raya pada saat itu belum bersifat wajib atau hanya sukarela.
Diketahui, kala itu jumlah nominal THR yang diterima oleh para PNS sebesar Rp 125 hingga Rp 200. Selain pemberian uang, mereka juga akan menerima paket sembako sebagai tambahan Tunjangan Hari Raya yang akan mereka dapat saat akhir bulan puasa atau menjelang Idul Fitri. Terdapat pula peraturan mengenai pemberian THR pada saat pemerintahan masa itu, yakni pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 Tentang Pemberian Persekot Hari Raya Kepada Pegawai Negeri. Pada masa ini, pemberian THR memang hanya dikhususnya untuk para PNS saja namun seiring berjalannya waktu banyak buruh/pekerja yang menuntut untuk diberikan THR secara merata yang mana pada saat itu ditentang oleh organisasi buruh yang masih memiliki koneksi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Masih dalam sumber yang sama, kejadian pemberontakan ini terjadi pada tanggal 13 Februari 1952 yang mana pada saat itu para buruh ramai-ramai mogok kerja agar pemerintah dapat memberikan THR secara adil dan merata. SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia pada saat itu benar-benar menjadi garda terdepan untuk menyuarakan hak buruh lainnya agar pemerintah bersedia memberikan THR sebesar upah mereka bekerja dalam satu bulan. Akan tetapi, upaya dari para buruh saat itu belum dapat diamini oleh pemerintah melainkan mereka tetap pada peraturan semula yang mana perilaku ini semakin membuat geram para buruh.
Singkatnya, pemerintah akhirnya bersedia untuk mengatur tentang pelaksanaan pemberian tunjangan hari raya kepada para pekerja swasta namun tidak dengan peraturan secara resmi melainkan hanya berbentuk surat edaran. Surat edaran ini pun diterbitkan oleh Menteri Perburuhan S.M Abidin melalui Surat Edaran Nomor 3667 Tahun 1954. Mirisnya, surat edaran ini hanya bersifat himbauan sehingga pasca informasi tersebut diberitahukan masih banyak perusahaan yang enggan memberikan THR nya kepada para pekerja karena dianggap bukan bentuk kewajiban. Padahal, besaran THR yang dianjurkan tidak sebesar jumlah THR yang diterima oleh pegawai PNS, yakni hanya sebesar Rp 50 dan maksimal Rp 300. Kebijakan ini akhirnya diresmikan pada Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 Tahun 1961.
Seiring berjalannya waktu, kebijakan mengenai pelaksanaan pemberian THR kepada pekerja swasta ini pun ditegaskan kembali oleh pemerintah pada tahun 1994 melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 4 Tahun 1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja Swasta di Perusahaan. Dalam kebijakan tersebut pemerintah mewajibkan kepada seluruh perusahaan untuk memberikan THR kepada pekerja dengan minimal masa kerja tiga bulan. Tidak berhenti sampai disini, pada tahun 2016 pemerintah kembali merubah isi peraturannya, yang mana bagi pekerja yang memiliki masa kerja sebulan juga diwajibkan untuk menapatkan tunjangan hari raya dari perusahaannya.
Apabila melihat dari sejarah yang ada, pemberian tunjangan hari raya ini ternyata memang tidak lepas dari perjuangan para buruh terdahulu yang benar-benar mengupayakan agar seluruh buruh di tanah air dapat merasakan dan mendapatkan hak yang sama. Jika seperti ini, sudah seharusnya kita berterima kasih dengan para buruh terdahulu yang mana sudah berperan besar sebagai pahlawan kemanusiaan bagi para pekerja. Dapat dibayangkan, apabila saat itu tidak ada yang berani menyuarakan hak rakyat kepada pemerintah maka kita para pekerja di masa kini mungkin masih belum tentu menerima tunjangan hari raya sebaik saat ini. Jadi, seperti inilah cerita panjang mengenai pelaksanaan pemberian tunjangan hari raya yang terjadi di Indonesia. Jika di Indonesia mengenal pelaksanaan tunjangan hari raya keagamaan, lalu bagaimana dengan kondisi para pekerja yang ada di luar negeri? Untuk itu ikuti terus artikel menarik lainnya agar kamu terus mendapatkan berbagai informasi secara up to date khususnya dari Oktana.id.
Penulis: Lutfina
Editor: Srinan