OKTANA.ID, Surabaya- Dalam situasi tertentu, seseorang dapat merasakan jantung berdebar lebih cepat atau lebih lambat dari biasanya. Kondisi itu dapat menjadi gejala gangguan irama jantung atau aritmia yaitu tidak normalnya laju detak jantung.
Menurut Dosen Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR) dr Rerdin Julario SpJP (K), gangguan irama jantung berbeda dengan serangan jantung dan henti jantung. Gangguan irama jantung berupa laju detak jantung yang terlalu cepat, terlalu lambat, atau irama jantung yang tidak teratur.
Umumnya, dr Rerdin mengatakan, detak jantung normal pada orang dewasa berkisar antara 60 sampai 100 per menit.
“Apabila denyut jantung seseorang kurang dari itu, berarti dia mengalami gangguan irama jantung lambat atau sebaliknya gangguan irama jantung cepat yang mana masing-masing memiliki risiko,” jelasnya seperti dilansir dari situs resmi Unair.
Ia menyebut pemicu aritmia adalah gangguan aliran impuls listrik ke sel-sel jantung miokardium. Gangguan irama jantung ini, lanjutnya, dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan dari berbagai usia. Terlebih, pada seseorang yang menderita kelainan jantung dan penyakit kronis.
Salah satu tanda penderita aritmia adalah jantung mudah berdebar meski sedang tidak melakukan aktivitas. Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah itu menambahkan, gejala lain juga dikenal dengan istilah skip a bit yaitu detak jantung loncat atau tidak teratur, hingga detak jantung melambat yang bisa menyebabkan seseorang mengalami pingsan.
Kendati begitu, menurut dr Rerdin, gejala tersebut dapat terjadi secara hilang-timbul. Sehingga ia menyarankan bagi masyarakat untuk aware dengan intensitas irama jantung yang tidak teratur.
“Kalau sering munculnya dalam satu minggu berarti memang harus kita evaluasi. Tapi kalau jarang dalam artian sebulan sekali atau setahun sekali, nah itu tidak ada masalah,” ujar dr Rerdin.
Selanjutnya, ia menuturkan bahwa diagnosis gangguan irama jantung dengan menjalani pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dan holter monitoring. Skrining tersebut untuk mengetahui jenis aritmia yang diderita apakah dalam tingkatan ringan, sedang, atau berat.
Apabila gangguan irama jantung ringan, kata dr Rerdin, bisa sembuh melalui terapi obat dan bagi penderita gangguan irama jantung lambat akan dibantu menggunakan alat pacu jantung. Sementara, penderita aritmia berat harus mendapatkan tindakan berupa ablasi jantung.
Gangguan irama jantung memang tidak berbahaya, namun jika penyakit ini muncul akibat kondisi jantung yang lemah atau rusak maka bisa timbul gejala dan komplikasi yang parah bahkan kematian. Sehingga dr Rerdin memberikan tips pencegahan paling mudah dengan menari (meraba nadi sendiri).
“Raba nadi kita sendiri pada area tangan sejajar dengan jempol, lalu hitung selama satu menit menggunakan smartwatch atau alat otomatis seperti oximeter,” terang dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Mayapada Surabaya itu.
Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap denyut nadi jantung tentu menjadi langkah preventif agar terhindar dari gangguan irama jantung. “Jadi tidak perlu panik apabila mengalami keluhan, segera konsultasikan karena aritmia bisa diobati dan sembuh dengan sempurna,” pungkasnya.
Editor: Beatrix