OKTANA.ID, Jakarta- Setelah duduk dua periode, Presiden Joko Widodo akhirnya mengakui adanya 12 pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Indonesia. Pasalnya, sejak kampanye pada perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 silam, Jokowi telah berjanji akan membuka tabir pelanggaran HAM di Indonesia pada masa lalu. Sejak kampanye pada masa menjadi calon presiden, Jokowi berkeinginan untuk memperjelas semua kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
Setelah 8 tahun, Presiden Jokowi mengakui adanya pelanggaran HAM berat usai menerima hasil laporan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023).
“Saya telah membaca dengan seksama laporan dari PPHAM pelanggaran HAM berat yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 17 Tahun 2022. Dengan pikiran jernih dan hati yang tulis sebagai Kepala Negara saya mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di masa lalu,” terang Jokowi.
Ia mengaku menyesali adanya pelanggaran HAM berat pada sejumlah peristiwa. Dari hasil laporan PPHAM itu, Jokowi mengumumkan ada 12 pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia pada masa lalu.
12 peristiwa pelanggaran HAM berat itu ialah: Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung pada 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh pada 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II pada 1998-1999.
Selanjutnya ada Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet pada 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA di Aceh pada 1999, Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena di Papua tahun2003. Dan terakhir ialah Peristiwa Jambo Keupok di Aceh pada 2003.
“Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Oleh karena itu yang pertama, saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial,” kata Jokowi.
Komnas HAM Sikapi Rilis 12 Pelanggaran HAM Berat
Pengakuan dari Presiden Jokowi tentang adanya 12 pelanggaran HAM berat pada masa lalu membuat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas) HAM Republik Indonesia memberikan pandangan. Ada sembilan poin yang disampaikan Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro.
Pertama, Komnas HAM menyambut baik sikap Presiden atas adanya pengakuan terhadap 12 peristiwa pelanggaran HAM Berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM. Kedua, komitmen pemerintah sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) untuk melakukan pemulihan hak korban, dengan memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Hal ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
Tak hanya itu, turunan UU tersebut ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat, dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu.
Ketiga, Komnas HAM meminta adanya dukungan jaminan ketidakberulangan peristiwa pelanggaran HAM yang berat dengan membangun pemajuan dan penegakan HAM yang efektif.
Upaya yang bisa dilakukan dengan mendorong ratifikasi semua instrumen HAM Internasional, perubahan kebijakan di berbagai sektor dan tatanan kelembagaan pada institusi negara, dan peningkatan kapasitas penegak hukum dan aparat sipil negara melalui pendidikan dan pelatihan HAM.
Keempat, Komnas HAM meminta Menkopolhukam untuk memfasilitasi koordinasi antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung terkait tugas dan kewenangan dalam menjalankan penyelidikan dan penyidikan guna menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM berat melalui mekanisme yudisial.
Kelima, Komnas HAM berpandangan bahwa hak korban atas pemulihan juga berlaku bagi korban peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat yang telah disidangkan melalui Pengadilan HAM namun hingga saat ini belum mendapatkan haknya atas pemulihan. Peristiwa tersebut yaitu Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Timor-Timor 1999, Peristiwa Abepura 2000, dan Peristiwa Paniai 2014.
Keenam, Komnas HAM meminta berbagai institusi untuk turut mendukung kebijakan pemerintah terkait tindak lanjut atas laporan Tim PPHAM.
Institusi tersebut di antaranya TNI, Polri, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian/Lembaga lain, serta pemerintah daerah/provinsi/kabupaten/kota.
Ketujuh, Komnas HAM membuka ruang bagi korban untuk mengajukan status sebagai korban Pelanggaran HAM yang Berat kepada Komnas HAM.
“Sesuai mandat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, Komnas HAM berwenang untuk menyatakan seseorang sebagai korban Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat,” terang Atnike.
Kedelapan, Komnas HAM meminta Menkopolhukam untuk merumuskan langkah konkret tindak lanjut atas laporan Tim PPHAM.
Kesembilan, Komnas HAM mendukung dan mendorong tindak lanjut dari Laporan Tim PPHAM sebagaimana komitmen yang telah disampaikan oleh Presiden.
“Demi pemenuhan Hak-hak Korban Pelanggaran HAM yang Berat, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya,” pungkas Atnike.
Ibunda Korban Semanggi: Tak Perlu Disesali, Harus Dipertanggungjawabkan
Pernyataan sesal Presiden Jokowi usai mendapatkan hasil laporan 12 pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu ditanggapi oleh keluarga korban Tragedi Semanggi I. Dialah Maria Sumarsih, ibund dari Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang menjadi korban Semanggi I. Sumarsih meminta pemerintah untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM berat dengan membawanya ke pengadilan.
“Pelanggaran HAM berat masa lalu tidak perlu disesali, tetapi harus dipertanggungjawabkan di Pengadilan HAM Ad Hoc,” ujar Sumarsih dikutip dari Kompas.com, Rabu (11/1/2023).
Ia menerangkan bahwa pembentukan pengadilan adhoc untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat itu sesuai mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menurutnya, permintaan permintaan maaf dari presiden tidak diperlukan.
“Yang penting adalah membuat jera para pelaku dengan mengadili mereka di pengadilan agar tidak terulang,” tegasnya.
Ia juga meminta agar aparat TNI dan Polri untuk berhenti bertindak kekerasan kepada masyarakat. Permintaan maaf pemerintah seolah tak ada artinya jika kekerasan masih dilakukan TNI dan Polri.
“Apa artinya minta maaf bila kenyataannya setelah terjadi tragedi Semanggi I kemudian terjadi tragedi Semanggi II, Wasior, Wamena, pembunuhan Munir, Paniai dan seterusnya hingga kekerasan TNI/Polri di Kanjuruhan Malang?” ucap Sumarsih.
Di sisi lain, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar, pengakuan adanya pelanggaran HAM berat masa lalu bukan barang baru. Lantaran, kata Rivanlee, sudah direkomendasikan oleh Komnas HAM kepada pemangku jabatan presiden sejak tahun 1999.
“Pengakuan dan permintaan maaf harus ditindaklanjuti dengan rangkaian tindakan untuk memberikan hak-hak korban secara keseluruhan,” kata Rivanlee.
Ia berpendapat bahwa pengakuan kesalahan oleh negara merupakan hal fundamental karena korban pelanggaran HAM berat terjadi akibat penyalahgunaan kekuasaan.
“Tanpa ada pengakuan negara atas adanya pelanggaran berat HAM maka pemberian pemulihan bagi korban malah bersifat kontraproduktif dari upaya pemberian hak-hak korban, pemulihan hanya dimaknai sebagai bantuan sosial/kemiskinan,” imbuhnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan, proses yudisial akan tetap berjalan meski pemerintah menempuh jalur yudisial.
“Tim ini tidak meniadakan proses yudisial,” kata Mahfud.
Ia menjelaskan pemerintah sudah membawa empat kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah tahun 2000 tetapi para pelakunnya dibebaskan karena dianggap tidak cukup bukti untuk dikatakan sebagai pelanggaran HAM berat.
“Bahwa itu kejahatan, iya, tapi bukan pelanggaran HAM berat karena itu berbeda. Kalau kejahatannya semua sudah diproses secara hukum tapi yang dinyatakan pelanggaran HAM beratnya itu memang tidak cukup bukti,” kata Mahfud saat konferensi pers, Rabu (11/1/2023).
Pakar Hukum Tata Negara dari STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti melihat pengakuan Presiden Jokowi adanya pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut sebagai langkah awal penyelesaian kasus HAM berat lainnya.
Menurutnya ada tiga langkah selanjutnya yang perlu dinanti dari Jokowi. Yakni, pengungkapan kebenaran yang menyeluruh, pemberian keadilan yang berbasis korban, dan menjamin ketidakberulangan.
“Pengakuan adanya pelanggaran HAM Berat perlu diapresiasi. Paling tidak ada pengakuan dulu. Tapi dalam penyelesaian pelanggaran HAM Berat, yang harus dilakukan tidak boleh berhenti di pengakuan tentang adanya peristiwa itu,” kata Bivitri dilansir dari CNN Indonesia.