OKTANA.ID– Industri di bidang budaya dan kreativitas makin mendapat perhatian dalam forum-forum multilateral dan regional, termasuk di ASEAN maupun G20. Sebab, sektor ini dianggap dapat menjadi media pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19. Dalam gagasan Creative Economy 2030 Asian Development Bank Institute (ADB), ekonomi kreatif bahkan menjadi strategi besar untuk mengaplikasikan pembangunan berkelanjutan.
Ekonomi kreatif merupakan sebuah gerakan intelektual yang lahir dari industri kreatif dengan menjadikan kreativitas sebagai modal. Menurut pakar industri kreatif asal Inggris, John Howkins, ekonomi kreatif menghubungkan berbagai bidang, seperti seni dan budaya, sains dan teknologi, bisnis dan perdagangan. Artinya, integrasi ekonomi kreatif dengan sektor lain dapat meningkatkan nilai tambah.
Ramainya diskusi mengenai ekonomi kreatif menunjukkan bagaimana ia kini telah menjadi bagian dari agenda ekonomi politik global. Tak hanya memiliki nilai ekonomi, industri ini memiliki pengaruh dalam membentuk ‘merek’ suatu bangsa (nation branding) dan soft power, bahkan kultur universal.
Organisasi internasional pun telah menjadi wadah untuk menyatukan dan mendorong minat yang sama antara satu negara dengan negara yang lain. Ini misalnya terkait kekayaan intelektual dalam Intellectual Property Organization (IPO), perdagangan global dalam World Trade Organization (WTO), aspek pariwisata oleh UNWTO, dan pendidikan dan kebudayaan di bawah naungan UNESCO.
Sebagai pengajar ilmu hubungan internasional yang fokus dalam isu-isu ekonomi politik, saya ingin menjelaskan bagaimana ekonomi kreatif memegang pengaruh dalam percaturan politik internasional–terutama terkait fungsinya sebagai soft power dan dalam pembentukan ‘merek’ suatu negara.
Ekonomi kreatif sebagai soft power
Pergeseran agenda politik internasional menjadikan ekonomi sebagai sektor yang strategis dalam membentuk kekuatan nasional. Negara tidak lagi menjadi satu-satunya aktor politik yang berperan strategis dalam percaturan politik global, namun juga sektor swasta. Terjadi perubahan orientasi kekuatan politik tak hanya pada militer tetapi juga pada sumber daya yang tak kasat mata (intangible power resources) seperti budaya, ideologi, dan kelembagaan.
Di sinilah ekonomi kreatif memainkan peranan penting sebagai kontributor dalam membentuk soft power (kemampuan menyebarkan pengaruh lewat pendekatan nonkoersif) suatu negara–dan ini terlihat jelas di masa pandemi.
Walaupun terkena dampak dari mobilitas masyarakat yang terbatas akibat COVID-19, ekonomi kreatif adalah salah satu sektor yang berhasil mempertahankan aktivitasnya melalui platform digital. Seniman, pengusaha maupun komunitas kreatif melakukan konser online dan pameran digital. Tren media sosial juga turut menyebarkan informasi terkini bahkan viral kepada masyarakat.
Pada 2020, misalnya, konser online di seluruh dunia berhasil membukukan pendapatan hingga US$600 juta (Rp9,29 triliun).
Tak hanya itu, distribusi produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pun terbantu dengan adanya inovasi dari aplikasi transportasi online serta e-commerce yang menjadi pasar digital yang mempermudah transaksi perdagangan. Menurut UNESCO, pada tahun 2021, ekonomi kreatif berkontribusi dalam pemulihan ekonomi global dengan membuka 30 juta lapangan pekerjaan.
Sebagai sektor yang secara global didorong untuk mencapai pemulihan ekonomi, pertumbuhan ekonomi kreatif berpeluang terus mengalami transformasi. Ini penting dalam membentuk soft power suatu negara dan pembangunan ekonominya. Sebab, tidak hanya mendorong terciptanya inovasi dan kreasi, ekonomi kreatif juga memberdayakan potensi budaya dan kearifan lokal sebagai sumber daya ekonomi dengan memanfaatkan kreativitas kontemporer dan teknologi untuk menciptakan nilai komersial.
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) melaporkan bahwa kontribusi sektor ekonomi kreatif ke pemasukan negara-negara terus bertumbuh tiap tahunnya. Ekspor barang-barang kreatif global meningkat 25% menjadi US$524 juta (Rp8,11 triliun) pada 2020 dibandingkan satu dekade sebelumnya, sementara ekspor jasa kreatif dunia melambung 125% menjadi hampir US$1,1 miliar (Rp17,03 triliun) pada periode yang sama. Negara berkembang menyumbang 80% ke ekspor barang-barang kreatif, dan ini tentunya baik untuk pertumbuhan ekonomi dan memperkuat soft power mereka.
Ekonomi kreatif sebagai pembentuk nation branding
Korea Selatan memajukan ekonomi kreatifnya melalui musik, film, dan teknologi yang memiliki branding Korean Wave. Begitu pun Jepang dengan Cool Japan, India dengan Bollywood dan yoga, Maladewa dengan pariwisatanya, dan Perancis dengan fesyen dan gastronomi.
Negara-negara ini merupakan beberapa dari banyak negara dunia yang menggerakkan ekonomi kreatif sebagai mata pencaharian masyarakat ekonomi lokal. Hasilnya adalah ciri khas negara tersebut atau dikenal dengan istilah nation branding.
Nation branding mendorong suatu negara membentuk keunggulan kompetitifnya dan memperkuat soft power mereka. Tujuan nation branding adalah menarik pariwisata dan talenta, serta mendorong investasi dan ekspor.
Ekonomi kreatif dapat mendorong pembentukan ‘merek’ ini. Unsur budaya dan kearifan lokal sebagai instrumen kreativitas menciptakan keunggulan yang memberi identitas dan karakteristik dari suatu negara.
Pada 2021, misalnya, ekonomi Korea Selatan ‘diselamatkan’ dari terjangan pandemi oleh ekspor terkait K-wave yang menyentuh angka US$12,45 miliar (Rp193,15 triliun)–naik lebih dari 4% dibandingkan tahun sebelumnya. Pemasukan industri perfilman Bollywood bisa mencapai US$2 miliar (Rp31 triliun) tiap tahunnya. Sementara, pariwisata berkontribusi hampir 40% ke PDB Maladewa.
Masing-masing negara memiliki kapasitas dalam mengembangkan ekonomi kreatifnya. Masing-masing juga memiliki orientasi yang turut didukung sebagai program dalam kebijakan pemerintah.
Pun Indonesia, yang turut aktif mengembangkan subsektor ekonomi kreatif unggulan dari segi pemberdayaan kearifan lokal, seperti fesyen, kuliner, dan kerajinan tangan.
Sisi-sisi ekonomi kreatif: hiburan, bisnis, dan politik
Ekonomi kreatif memiliki sisi-sisi yang menunjang keberlangsungan eksistensinya dan berdampak pada gaya hidup masyarakat. Perkembangan ekonomi kreatif pun dinamis namun sustainable. Setiap negara memiliki subsektor unggulan, prioritas, maupun yang sedang dikembangkan dalam ekonomi kreatif, baik kategori seni dan budaya, sains dan teknologi, serta berkontribusi dalam aspek bisnis dan perdagangan.
Dari sisi hiburan, ekonomi kreatif merupakan sarana rekreasional yang menunjang kapasitas dan penyebaran informasi. Musik, film, aplikasi, desain, seni pertunjukkan merupakan subsektor ekonomi kreatif yang kerap mengelaborasikan seni, budaya, dan modernisasi. Ekonomi kreatif tumbuh menjadi sektor yang dapat dinikmati setiap segmen masyarakat.
Dari sisi politik, subsektor ekonomi kreatif mampu menjadi alat atau media menyebarkan suatu isu yang bersifat transnasional atau lintas batas. Hal ini mampu menggiring opini masyarakat terhadap suatu isu bahkan membentuk gaya hidup dan selera.
Tak hanya sekadar soal kekuatan ekonomi suatu negara, produk ekonomi kreatif juga bisa mempromosikan agenda ke kancah internasional, misalnya melalui media film. Film Hollywood Don’t Look Up (2021), contohnya, mengangkat isu perubahan iklim dan lingkungan. Atau, film dengan pesan antiperang seperti All Quiet on The Western Front (2022) asal Jerman.
Sedangkan dari sisi bisnis, kontribusi ekonomi kreatif berdampak signifikan bagi pembangunan ekonomi bangsa, karena sektor ini memberdayakan keterampilan sumber daya manusia agar produktif secara ekonomi. Ekonomi kreatif juga menjadi kontributor penting terhadap nilai ekspor dan mengintegrasikannya keberbagai sektor ekonomi. Daya tahannya pun telah diuji selama pandemi. Tidak salah jika ekonomi kreatif masih dan tetap akan berpotensi menjadi sektor primadona dari agenda ekonomi politik global.
Ekonomi kreatif dalam tatanan ekonomi politik adalah fundamental, menjadikannya sebagai bagian dari kebijakan publik yang mendorong daya saing ekonomi sangatlah penting. Negara berperan sebagai fasilitator dan mobilisator dalam memberi wadah ke seluruh aspek masyarakat untuk terlibat mengembangkan ekonomi kreatif sebagai kekuatan bangsa.
Afni Regita Cahyani Muis, Dosen Prodi Hubungan Internasional, Universitas Darussalam Gontor
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.