OKTANA.ID– Perguruan tinggi di Indonesia memiliki tiga kewajiban yang harus dilakukan dalam praktik kerjanya: pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, dan pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan diwujudkan dalam proses belajar-mengajar di dalam dan luar kelas, termasuk ketika dosen melanjutkan jenjang pendidikan, semisal jenjang doktor. Sementara penelitian terkait dengan seluruh proses penemuan dan pengembangan dari hasil riset universitas. Adapun pengabdian masyarakat, berurusan dengan usaha-usaha untuk mengaplikasikan hasil pengajaran dan hasil riset akademisi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Ketiga pilar tersebut dikenal dengan istilah “Tri Dharma Perguruan Tinggi”. Tri Dharma inilah yang menjadi pijakan utama bagi seluruh dosen yang bekerja di perguruan tinggi Indonesia untuk melaksanakan pengabdian masyarakat sejak tahun 1961.
Pengabdian masyarakat memiliki esensi untuk menjembatani akademisi dan masyarakat, agar lingkungan universitas lebih terhubung dengan kebutuhan masyarakat di sekeliling mereka.
Sebagai bagian dari Tri Dharma, setiap dosen yang terafiliasi dengan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta diwajibkan untuk melaksanakan pengabdian masyarakat paling tidak sekali dalam setahun, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 20 ayat 2 dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Kewajiban ini juga didukung oleh mekanisme reward and punishment dari pemerintah, salah satunya adalah sertifikasi dosen, yaitu sertifikat pendidik yang diberikan kepada dosen melalui proses sertifikasi (uji kompetensi) dan merupakan bukti formal pengakuan terhadap dosen sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi. Uji kompetensi ini dilakukan dalam bentuk penilaian portofolio, yang merupakan penilaian pengalaman akademik dan profesional.
Dosen tersertifikasi memiliki kewajiban untuk melaksanakan setidaknya satu kegiatan pengabdian masyarakat jika ingin mendapatkan tunjangan profesi dosen yaitu insentif sebesar satu kali gaji pokok dari pemerintah setiap bulan. Sehingga, pada praktiknya, dosen bukan hanya diwajibkan, tapi juga perlu melaksanakan pengabdian masyarakat demi mempertahankan status dosen tersertifikasi dan mendapatkan insentif.
Adanya perintah dari atas yang mewajibkan dosen untuk melaksanakan kegiatan pengabdian, ditambah mekanisme dan sistem pemberian insentif yang dibuat sedemikian rupa, membuat kegiatan pengabdian masyarakat berisiko dilaksanakan sebagai kegiatan untuk memenuhi kewajiban semata.
Terlebih lagi, menumpuknya tugas administrasi, berbagai tugas kepanitiaan, serta beban mengajar yang tinggi sebagai bagian dari tri dharma pendidikan dan pengajaran, juga menyebabkan dosen kekurangan waktu, termasuk waktu untuk merancang program pengabdian masyarakat yang maksimal.
Alih-alih membuka lebih banyak kesempatan dan melaksanakan pemberdayaan bagi masyarakat miskin akses, kegiatan pengabdian masyarakat dapat berakhir sekadar sebagai ticking the box bagi para dosen: melakukan sesuatu secara ala kadarnya hanya karena ada ‘reward’ yang mendorong mereka untuk melakukannya.
Apa dampak yang mungkin muncul dari situasi ini?
1. Satu arah sehingga terjebak formalitas
Karena dilaksanakan sekadar sebagai penggugur kewajiban, bentuk-bentuk pengabdian masyarakat di Indonesia selama ini lebih banyak menggunakan pendekatan atas ke bawah atau top down, yaitu pelaksanaan pengabdian masyarakat yang dimulai dengan adanya aturan dari pemerintah atas/pusat yang kemudian diturunkan kepada para aktor/akademisi universitas di tingkat bawah. Memberikan materi berupa seminar atau lokakarya sebagai bentuk pengabdian masyarakat masih menjadi primadona di kalangan dosen.
Padahal, berdasarkan studi pengabdian masyarakat dari berbagai lintas negara yang menerapkan pendekatan yang sama dengan Indonesia, ditemukan bahwa pelaksanaan kegiatan yang menghubungkan antara akademisi dengan masyarakat melalui mekanisme seperti ini dapat berakhir sebagai kegiatan formalitas belaka sehingga tidak ada kelanjutan dan dampak konkretnya di masyarakat.
2. Tidak tepat sasaran
Beberapa studi terdahulu seperti penelitian Chen Chen & Frank Vanclay dari University of Groningen, Belanda; Gifty Oforiwaa Gyamera dari Ghana Institute of Management and Public Administration (GIMPA), Ghana & Irene Debrah dari University of Development Studies, Ghana; dan Phil Klein dari University of Northern Colorado, Amerika Serikat) menyepakati bahwa pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat oleh akademisi di lingkungan yang menerapkan aturan dari atas, bukan saja berisiko menjadi sekadar formalitas, tapi juga dapat melukai masyarakat sasaran itu sendiri. Hal ini dapat terjadi misalnya, ketika akademisi mengadakan kegiatan pengabdian yang sebenarnya bukan kebutuhan masyarakat, namun dipaksakan sesuai dengan latar keilmuan dosen yang bersangkutan.
Selain itu, dalam beberapa contoh kasus, tuntutan kewajiban dan minimnya waktu membuat para akademisi kadang hanya memilih beberapa individu sebagai perwakilan dari keseluruhan komunitas sehingga tidak mewakili kebutuhan komunitas secara keseluruhan .
3. Rentan arogansi
Ticking the box juga berdampak pada munculnya arogansi dalam proses kegiatan pengabdian, di mana pihak dosen menganggap dirinya lebih tinggi dan lebih berpengetahuan dibanding masyarakat. Program yang dibuat secara terburu-buru dapat membuat dosen menutup mata terhadap pengetahuan baru dari masyarakat awam, atau bahkan mengesampingkan pengetahuan dan kemampuan otodidak yang dimiliki oleh kelompok masyarakat sasaran.
Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif bagi kondisi psikologi masyarakat sasaran. Seperti misalnya yang terjadi dalam kegiatan pengabdian masyarakat oleh akademisi di enam universitas transnasional di Cina. Para akademisi dari beberapa universitas ini berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas, dan mereka mendatangi masyarakat kelas menengah ke bawah. Yang terjadi adalah mereka terkejut dengan kondisi masyarakat yang tidak biasa mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari dan akhirnya terjadi kesalahpahaman dan miskomunikasi antara akademisi dengan masyarakat yang membuat masyarakat tidak nyaman dengan kedatangan para akademisi tersebut.
Pengabdian masyarakat, sebagai salah satu pilar pendidikan tinggi, semestinya dipersiapkan dengan maksimal, sama seperti ketika dosen mengajar atau meneliti. Dengan begitu, kegiatan ini tidak akan lagi dilihat sekadar sebagai ticking the box yang ala kadarnya tetapi sebagai wujud pemenuhan kewajiban akademisi untuk menyebarkan pengetahuan dan manfaat keilmuan kepada masyarakat luas.
Andi Sri Wahyuni, Ph.D student in Economics, University of Szeged, Hungary & Lecturer, Politeknik Negeri Ujung Pandang, Indonesia, University of Szeged
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.