OKTANA.ID, SURABAYA- Pada era digital yang terus berkembang, kecanduan belanja online telah menjadi tantangan yang signifikan bagi banyak individu. Harga yang murah, produk yang beragam sekaligus ditunjang akses yang mudah tanpa harus datang ke outlet.
Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan frekuensi belanja compulsive dan paling banyak terjadi pada mahasiswa dan perempuan. Banyak faktor yang dapat mendorong seseorang memiliki perilaku belanja compulsive diantaranya yaitu mengatasi stress, meningkatkan mood, ingin mendapatkan pengakuan sosial dan meningkatkan citra diri. Lantas apakah perilaku tersebut dapat dikategorikan sebagai gangguan mental?
Dosen Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UM Surabaya, Uswatun Khasanah menyebut kebiasaan belanja kompulsif ini tanpa disadari, jika sering dilakukan akan menjadi kebiasaan yang tidak dapat dikontrol atau yang biasa dikenal dengan kecanduan. Perilaku kecanduan dalam hal ini serupa dengan kencanduan lainnya seperti berjudi, game online, narkoba dan kecanduan lainnya.
Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) belanja kompulsif tidak terdaftar sebagai kecanduan atau masalah kesehatan mental yang berdiri sendiri, akan tetapi masalah atau gejala yang ditunjukkan memiliki karakteristik umum yang biasanya terjadi pada gangguan kecanduan seperti gangguan dalam control impulsive atau ketidakmampuan dalam menahan dorongan untuk melakukan belanja atau membeli sesuatu yang bahkan tidak dibutuhkan.
“Gangguan belanja compulsive biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit mental lainnya seperti depresi, kecemasan, dan gangguan makan. Perilaku ini umumnya muncul di usia 30 tahunan atau saat seseorang merasa telah mencapai kematangan secara finansial,”ujar Uswatun.
Dalam penjelasannya, beberapa bentuk kecanduan belanja yang perlu dikenali diantaranya yaitu:
Pertama. pembelian yang impulsive, dimana sering membeli sesuatu tanpa direncanakan/ cenderung spontan dan bahkan masih banyak barang yang dibeli belum sempat dibuka dan menumpuk.
Kedua merasa sangat senang (euphoria) saat membeli sesuatu, kegembiraaan tersebut muncul bukan karena barang yang dibeli, namun lebih ke tindakan membeli, rasa gembira ini yang biasanya ingin diulang kembali sehingga mendorong ke arah kecanduan belanja.
Ketiga, berbelanja untuk mengatasi stress atau perasaan yang tidak menyenangkan. Suasana hati yang tidak nyaman ini kemudian dialihkan dengan berbelanja.
Keempat, adanya rasa bersalah karena tidak mendapatkan barang yang memang dibutuhkan sehingga dilampiaskan dengan membeli barang lainnya.
Kelima, pembayaran dengan kartu kredit, debit atau pembayran non tunai lainnya menjadikan seseorang tidak menyadari telah melakukan kebiasaan belanja kompulsif karena tidak melakukan transaksi dengan uang tunai.
Uswatun menyebut, dampak berkepanjangan yang dapat muncul akibat kecanduan belanja meliputi perasaan menyesal atas pembelian yang dilakukan, malu, bersalah, masalah keuangan yang tentunya pengeluarannya menjadi lebih besar karena tidak terencana, kesulitan antar pribadi, dan kesulitan dalam menghentikan kebiasaan belanja.
Uswatun juga membagikan tips agar seseorang bisa menekan kebiasaan belanja.
Menurutnya, seseorang perlu melakukan identifikasi bagaimana kebiasaan belanja yang dilakukan berakhir menjadi sebuah perilaku kecanduan.
“Cari tahu pemicu yang menyebabkan munculnya kebiasaan belanja, apakah karena emosi negative, perasaan kesepian, peningkatan harga diri atau bahkan ingin mendapatkan pengakuan dari lingkungan sosial,”pungkas Uswatun.
Editor: Beatrix