OKTANA.ID, SURABAYA- Permainan roleplay belakangan ramai di media sosial Tiktok. Roleplay adalah salah satu jenis atau genre game.
Warganet di media sosial Twitter dan TikTok ramai membahas mengenai seorang ayah yang memarahi anaknya karena memainkan game RP atau roleplay.
Dalam video viral tersebut, bocah berusia 11 tahun itu kedapatan tengah melakukan roleplay. Terlebih, dia roleplaying bersama dengan orang yang tak dikenal.
Mengenal Game Roleplay
Game roleplay adalah permainan di mana setiap peserta mengambil peran karakter, umumnya dalam latar fantasi atau fiksi ilmiah, yang bisa berinteraksi dalam dunia imajiner permainan.
Game seperti Dungeons and Dragons, Battletech dan Star Wars adalah contoh populer dari genre game role playing online awal.
Permainan ini mendorong pemain untuk menjadi sebuah karakter, seringkali karakter yang sangat berbeda dari kepribadian pemain di kehidupan nyata.
Dampak Bermain Roleplay
Menanggapi hal tersebut, Psikolog Fakultas Psikologi (Fpsi) Universitas Airlangga (UNAIR) Dr Dewi Retno Suminar MSi mengatakan bahwa roleplay sangat tidak dianjurkan bagi anak-anak. Pasalnya, dalam permainan ini, anak secara bebas memainkan peran sebagai publik figur dan sosok lain.
“Karena itu, peran orang tua di sini menjadi penting dalam mengawasi dan mengontrol aktivitas online anak-anak mereka,” ucap Dewi.
Dewi menjelaskan bahwa dalam psikologi perkembangan, terdapat fase anak bermain dengan imajinasinya. Ia menyoroti bagaimana pengaruh role-play terhadap tumbuh kembang anak di bawah umur.
Sebenarnya, imajinasi anak dalam memainkan peran tokoh lain adalah hal yang biasa. Misalnya saja anak memainkan peran sebagai seorang dokter, polisi, pilot, guru, hingga astronot. Hal itu menjadi lumrah karena anak akan berimajinasi sesuai dengan aktivitas yang ada, nyata, bersama teman-temannya dan dalam jangkauan pengawasan orang tua.
Akan tetapi, lain halnya dengan role-play yang anak-anak saat ini gandrungi. Lantaran, mereka memainkan gim tersebut di media sosial. Selain itu, mereka biasanya akan memainkan peran seorang tokoh idola, sehingga dikhawatirkan hal ini akan membawa dampak negatif berupa fantasi dan imajinasi berlebih pada anak.
“Bahayanya saat bermain roleplay ini mereka memainkan peran diri sebagai “idola” yang juga berinteraksi dengan orang lain secara luas melalui platform digital,” ungkap Dewi.
Lebih lanjut, Dewi mengingatkan bahwa terdapat dampak berbahaya yang mungkin muncul ketika anak bermain role-playing di media sosial.
Selain kecanduan gadget, anak juga akan berpotensi kehilangan jati diri aslinya, karena selama ini imajinasi dan pikirannya berfokus pada idola yang sedang ia mainkan dalam role-playing. Hal tersebut akan menyebabkan perubahan pemikiran anak, di mana anak akan berpikir dewasa sebelum waktunya.
“Tanda adiksi muncul ketika anak tidak bisa menahan untuk tidak melakukannya (bermain roleplay, red). Ini yang sebenarnya harus menjadi perhatian. Karena jika hal tersebut di luar kontrol orang tua,”paparnya.
Dewi menambahkan bahwa permainan role-playing di media sosial bisa memberikan pengaruh negatif pada anak-anak jika tidak mendapat pengawasan dengan baik.
Oleh karena itu, Dewi mengajak orang tua untuk memahami digital parenting sebagai alat bantu untuk membatasi dan memanfaatkan digital untuk mengawasi anak. Orang tua harus bisa mengambil peran kontrol pada konten digital yang dikonsumsi anak. Dewi menyarankan agar orang tua untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan online anak-anak mereka.
“Orang tua di era sekarang harus tahu bagaimana untuk membalasnya, bukan hanya langsung merebut gadget. Perlu pendekatan dan mengobrol lebih dalam dengan anak terkait hal yang dilakukan anak,” pungkas Dewi.
Editor: Beatrix