OKTANA.ID– Pemerintah tidak henti-hentinya mendorong pertumbuhan desa wisata, salah satunya melalui program apresiasi Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) kepada desa yang dipilih oleh masyarakat melalui like pada unggahan di kanal YouTube Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). ADWI merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah sejak 2021 untuk mendorong transformasi desa menjadi destinasi wisata berkelas dunia dan berdaya saing tinggi.
Tak ayal, banyak desa berlomba-lomba melakukan transformasi agar dianggap otentik dan eksotis dari kacamata wisatawan atau disebut tourist gaze. Tourist gaze adalah sudut pandang wisatawan terhadap suatu objek atau landmark maupun suasana yang berbeda dari kehidupan keseharian mereka. Menurut John Urry, mendiang professor di Lancaster University, Inggris, tempat-tempat di dunia kini direproduksi menjadi tempat yang dikunjungi, digunakan, dan dikonsumsi oleh wisatawan.
Tourist gaze merupakan salah satu bentuk komodifikasi atau perubahan nilai dan fungsi dari suatu barang atau jasa menjadi komoditi yang memiliki nilai ekonomi. Dalam praktiknya, tourist gaze mencari hal paling eksotis dan otentik yang eksis di desa-desa terpencil atau kampung-kampung di tengah kota besar yang kontradiktif dengan pembangunan kota.
Kampung Tematik di Malang, Jawa Timur; Kampung Kreatif di Bandung, Jawa Barat; atau Kampung Tua di Batam, Kepulauan Riau, merupakan contoh bagaimana eksistensi kampung di tengah kota justru menjadi daya tarik bagi wisatawan. Roanne van Voorst, antropolog berkebangsaan Belanda bahkan merasa perlu membagikan pengalaman hidupnya di salah satu ‘kampung kumuh’ di Jakarta dalam buku bertajuk Tempat Terbaik di Dunia.
Sekilas, tourist gaze tampak sebagai hal yang wajar. Namun, jika dilakukan secara terus menerus, ‘tourist gaze’ dapat menjebak desa wisata ke dalam praktik-praktik eksploitasi ruang dan budaya, yang dampaknya antara lain:
Maraknya narasi tiruan
Narasi tentang desa semestinya merujuk pada narasi yang dibangun dari persepsi dan pengalaman orang lokal di desa tersebut. Wisata alam dan budaya, contohnya, dapat dinarasikan sebagai ‘autentisitas budaya’ dan ‘eksotisme ruang’. Autentisitas budaya merujuk kepada keaslian kebudayaan baik material (kebendaan fisik) maupun non material (nilai, kepercayaan, dll). Sementara eksotisme ruang merujuk kepada bentang alam maupun arsitektur tradisional masyarakat. Artinya, autentisitas budaya dan eksotisme ruang perlu menjadi narasi yang merepresentasikan cerita, keyakinan, dan harapan orang lokal.
Namun, tekanan tourist gaze bisa menyebabkan desa wisata gagal membangun narasi yang sesuai dengan keunikan masing-masing. Penelitian yang saya lakukan pada tahun 2022 menunjukkan bahwa dari 24 kampung tematik yang ada di Kota Malang, Jawa Timur, hanya segelintir yang benar-benar populer dan berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakatnya. Kampung Warna-Warni Jodipan, adalah satu dari sedikit kampung tematik yang berhasil membangun narasi relevan dengan kondisi mereka, yakni tentang ‘mengubah citra kumuh’ menjadi ‘lingkungan estetik’. Sementara 23 kampung lainnya hanya meniru mentah-mentah narasi tersebut.
Sebenarnya, beberapa desa berhasil menciptakan narasi yang unik. Desa wisata di Sumatera Barat, contohnya, berhasil merefleksikan keberagaman dalam keseragaman melalui lanskap eksotik Rumah Gadang, kebudayaan Minang, dan nilai-nilai Islam.
Desa-desa adat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) juga dapat menjadi contoh dalam membangun narasi lokal. Narasi yang dibangun bisa dibuat berbeda dari daerah lain dengan cara menonjolkan apa yang menjadi ciri khasnya. Desa adat di salah satu kabupaten di NTT yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, misalnya, bisa memasukkan narasi seputar penguatan identitas atau jaringan kekerabatan masa lampau dengan Timor Leste, sehingga menjadi daya tarik tersendiri.
Warga lokal tidak mendapatkan keuntungan
Selain menciptakan narasi seragam, tourist gaze juga membuat minimnya perspektif lokal dalam mengembangkan desa wisata. Sehingga, masyarakat lokal tidak mendapatkan keuntungan atau bahkan kehilangan ruang hidupnya sendiri.
Misalnya, hanya segelintir warga Dayak di Kalimantan Barat yang memperoleh keuntungan dari autentisitas dan eksotisme Dayak.
Warga memang mendapatkan keuntungan ekonomi dari hasil penjualan suvenir, tetapi hanya orang tertentu, seperti tokoh adat atau pemilik modal, yang mampu mendapatkan keuntungan ekonomi maupun politik bagi dirinya atau kelompoknya sendiri.
Bagaimana solusinya?
Pariwisata desa bukan sebatas pada transformasi menjadi destinasi wisata, melainkan menjamin transformasi ekonomi, sosial, dan budaya warganya. Hal tersebut membalik konsep atas desa wisata yang berbasis tempat (objek) menuju wisata desa yang berbasis nilai (subjek).
Salah satu caranya adalah dengan mengedepankan sudut pandang orang lokal local people gaze dan tidak terjebak pada tatapan wisatawan dan tuntutan industri pariwisata semata. Hal itu dimaksudkan agar paling tidak orang lokal tidak tersingkir di tengah kehancuran budaya lokal atau mengalami manipulasi budaya yang mengarah pada kekaburan identitas.
Mengedepankan tourist gaze tidak menjamin keberlanjutan aktivitas pariwisata di desa, sehingga tidak ada jaminan keberlanjutan perolehan ekonomi maupun pelestarian budaya lokal. Tourist gaze cenderung berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang lebih otentik dan eksotis sebagai bentuk koleksi spiritual dan visual mereka. Pada kenyataannya, wisatawan mungkin tidak menaruh perhatian pada asal-usul dan makna atraksi budaya, melainkan pada hal-hal yang bersifat estetis untuk direkam dan diabadikan secara visual di media sosial.
Dengan kata lain, program pengembangan desa sebagai destinasi wisata dunia dan berdaya saing, tidak bertumpu semata-mata pada pemenuhan hasrat wisatawan, melainkan pemenuhan kebutuhan orang lokal dalam meningkatkan kualitas kehidupan mereka. Artinya, program tersebut harus mengedepankan narasi, persepsi dan pengalaman orang lokal.
Rusydan Fathy, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.