OKTANA.ID, Jakarta- Isu perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) memantik para akademisi di berbagai kampus turut memberi tanggapan. Apalagi, tuntutan perpanjangan masa jabatan kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun muncul usai adanya aksi unjuk rasa di depan DPR RI pada 17 Januari 2023 lalu oleh para kepala desa di Indonesia. Tak hanya itu, aksi tersebut juga memasuki tahun politik untuk pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) pada Februari 2024.
Akademisi dari Universitas Andalas, Asrinaldi mengaku tak sepenuhnya setuju maupun menolak. Ia menilai hukum alam para elit lokal dan nasional butuh dukungan kades menjelang Pemilu.
Sejalan dengan itu, masyarakat juga bergantung pada peran kades dalam kehidupan sehari-hari. Mata rantai ini dilihat dari akses keuangan desa juga berasal dari pemerintah pusat. Asrinaldi menilai wajar bila modal tersebut digerakkan dalam urusan dukung mendukung kandidat tertentu jelang Pemilu 2024
“Jelas karena basis grass root ada di desa. Tahun 2023 pejabat politik ini memang harus hati-hati dengan rakyat. Dan mereka bersikap akomodatif karena mereka sadar nasib mereka di tangan masyarakat saat ini,” kata Asrinaldi.
Bukan menolak usul perpanjangan, Asrinaldi isu perpanjangan masa jabatan kades bisa saja dilakukan namun harus didasari kajian serius dan tak sekadar mencari alasan politis. Dia menekankan harus ada kesinambungan pembangunan pemerintahan daerah dan pemerintahan desa.
“Kalau alasan pembangunan, dokumen perencanaan pembangunan terintegrasi ini kan lima tahun, makanya diakomodir transisi enam tahun. Tapi sekarang sembilan tahun kan aneh jadinya,” imbuhnya.
Di sisi lain, pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo mengatakan mobilisasi kades ini mempunyai kecenderungan kepentingan politik. Hal tersebut merupakan problem klasik ketika desa diberi otonomi lewat UU Desa.
“Yang awalnya desa adalah entitas sosial kemasyarakatan kini menjadi entitas politik. Itu lebih dampak tak terduga karena ketika desa menjadi daerah otonom, rentan menjadi arena kontestasi kepentingan,” kata Wasisto.
Ia tegas tak setuju bila isu perpanjangan masa jabatan kades untukj meredam konflik di desa akibat pilkades. Menurutnya, konflik yang kerap terjadi usai pilkades tak begitu tinggi. “Tensi politik Pilkades sendiri tidaklah terlalu tinggi seperti halnya Pilbup, Pilwalkot, maupun Pilgub,” kata Wasis.
Alarm Bahaya Demokrasi
Analis politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun pun menanggapi isu perpanjangan masa jabatan kades. Menurutnya, wacana perpanjangan masa jabatan kades dapat merusak demokrasi.
“Kalau sebagian Kepala Desa dan Budiman Soedjatmiko masih ngotot terus perpanjang jabatan kades jadi 9 tahun dan disetujui oleh Presiden pula maka ini tanda-tanda mereka perusak demokrasi,” terang Ubedilah, Kamis (19/1).
Ia merespon dan tegas membantah adanya argument 6 tahun tidak cukup untuk membangun desa. Tak hanya itu, dana pilkades lebih baik dialihkan untuk pembangunan desa. Ubedillah menyatakan bahwa 6 tahun justru waktu yang sangat cukup untuk melaksanakan program-program desa dan mengatasi keterbelahan sosial akibat Pilkades.
Karenanya, masalah substansi yang terjadi bukan soal kurang waktu tetapi minimnya kemampuan kepemimpinan Kepala Desa untuk melaksanakan pembangunan desa. Serta, minimnya kemampuan kepala desa untuk mengatasi masalah keterbelahan sosial pasca pilkades.
“Jadi diperpanjang 9 tahun pun jika masalah substansinya tidak diatasi maka Kepala Desa tidak akan mampu jalankan program programnya dengan baik termasuk tidak mampu atasi problem keterbelahan sosial itu. Jadi solusinya bukan perpanjang masa jabatan,” terang Ubedilah.
Alasan pengalihan dana Pilkades lebih baik untuk pembangunan desa tak kuat dijadikan sebagai argumen. Karena, dana Pilkades telah disiapkan APBN, bahkan dalam penganggarannya pun mempunyai peruntukan khusus untuk pilkades.
Ia menyebut teori merusak demokrasi, karena Ubedillah menekankan jabatan publik yang dipilih rakyat itu harus digilir agar terhindar dari kecenderungan otoriter dan korupsi. Ia juga menyoroti 686 kepala desa menjadi tersangka korupsi meski jabatannya 6 tahun. Ia pun mengkhawatirkan jabatan 9 tahun bakal berpengaruh pada angka korupsi tersebut.
Tak hanya itu, menurut pasal 39 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa disebutkan Kepala Desa dapat ikut Pilkades selama tiga periode berturut-turut atau tidak berturut-turut. Apabila masa jabatan kades berubah menjadi 9 tahun, itu artinya seorang kepala desa bisa menjabat sampai 27 tahun.
“Kekuasaan yang terlalu lama itu cenderung absolut dan kekuasaan yang absolut pasti korup. Jabatan 9 tahun hingga berpeluang 27 tahun terlalu lama dan berpotensi besar menjadi absolut,” katanya.
6 Tahun Masa Jabatan Kades Sudah Tepat
Di sisi lain, Wahyudi, sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Malang, menilai permintaan kades dalam revisi satu masa jabatan menjadi 9 tahun terlalu panjang. Wahyudi melihat bahwa yang terpenting ialah sinkronisasi program kerja antara kades lama dengan kades baru bila ada pilkades. Hal ini yang semestinya diperbaiki dalam rencana pembangunan desa jangka pendek, menengah, maupun panjang.
“Koherensi pembangunan dalam rencana pembangunan desa itu kan yang mestinya dipikirkan. Sehingga, selalu ada keterkaitan program pembangunan desa dari waktu ke waktu,” terang Wahyudi.
Tak hanya itu, Wahyudi juga menyorot tentang perpanjangan masa jabatan itu akan tidak sehat. Karena, sirkulasi elit di desa akan berjalan terlalu lama. Apalagi, tiap masa ada banyak perubahan global. Bila terlalu lama, imbuh Wahyudi, dikhawatirkan akan memperlambat sirkulasi elit politik di desa.
“Terobosan dan inovasi di desa dari generasi selanjutnya harus dijaga. Bahkan kalau dua periode saja itu sudah bagus, 1 periode 6 tahun lebih bijak, yang penting ada keberlanjutan pembangunan di desa,” kata Wahyudi.
Sirkulasi elit ini, dinilai Wahyudi harus bisa berjalan dengan lancar untuk memberikan kesempatan untuk orang lain. Sehingga, tidak melanggengkan budaya patronase terhadap orang tertentu.
“Jangan terlalu panjang, bagi yang ambisius pasti senang. Namun, perlu dipikirkan generasi selanjutnya, agar terjadi sirkulasi elit di desa. Biar tidak dari elit ke elit itu lagi, kalau bisa ada sumber daya baru yang bisa memberi perubahan. Memang demokrasi Indonesia, dalam sirkulasi kepemimpinannya sering terpasung budaya patronase,” tegas Wahyudi.
Artinya, demokrasi tidak berjalan hanya seperti perpindahan jabatan dari anggota ke anggota keluarga saja.
“Sekarang bapaknya, periode ke depan ganti anaknya, begitu terus fenomenanya,” pungkas Wahyudi.
Sebelumnya, ribuan kepala desa menuntut perpanjangan masa jabatan kepala desa yang sebelumnya enam tahun menjadi sembilan tahun. Mereka meminta DPR merevisi masa jabatan yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengaku sudah mempersiapkan kajian akademik usulan masa jabatan kepala desa hingga sembilan tahun dalam satu periode dan dapat dipilih lagi di periode kedua.