OKTANA.ID, MALANG– Seleksi Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) tahun ini telah dibuka di berbagai lembaga pemerintahan. Tak kurang dari 24 kementerian dan lembaga negara juga membuka formasi rekrutmen mereka untuk penyandang disabilitas.
Peluang ini sejatinya dapat memperbanyak jumlah penyandang disabilitas di sektor ketenagakerjaan formal, menyerap sekian banyak sarjana penyandang disabilitas yang dalam 10 tahun terakhir ini angkanya meningkat dari 1% menjadi 3%, dan memberi peluang kepada masyarakat secara umum untuk melibatkan difabel di berbagai lingkup sosial.
Tujuannya sudah benar, tapi proses rekrutmennya sendiri tampaknya belum ramah–bahkan cenderung mempersulit–bagi para penyandang disabilitas untuk bisa melamar.
Persyaratan yang memberatkan dan intimidatif
Setidaknya ada tiga hal yang perlu disoroti dalam proses rekrutmen CPNS khusus bagi penyandang disabilitas.
Pertama, adanya persyaratan untuk menyertakan video bagi pendaftar dengan disabilitas. Berdasarkan ketentuan, video tersebut diharuskan berdurasi maksimal 5 menit, menampilkan seluruh badan dan bagian tubuh yang mengalami disabilitas, dan dapat menunjukkan kegiatan sehari-hari pelamar dalam menjalankan aktivitas sesuai jabatan yang akan dilamar.
Video aktivitas keseharian pendaftar tidak sepenuhnya dapat menggambarkan kondisi disabilitas atau bagaimana pendaftar dapat bekerja dengan baik. Penyandang disabilitas mental dan psikososial serta orang dengan ragam disabilitas yang tak kasat mata (invisible disabilities), misalnya, masih bisa terlihat sebagaimana orang tanpa disabilitas dalam video atau dalam keseharian mereka.
Jika tujuan dari penyertaan video adalah untuk mengetahui sejauh mana peserta seleksi mampu bekerja secara mandiri, hal ini dapat ditelusuri dengan wawancara kepada yang bersangkutan. Jika merunut tahapan dalam proses seleksi, hal ini dapat dilakukan di tahap selanjutnya, bukan dalam proses aplikasi.
Terlebih lagi, penyertaan video tersebut hanya berlaku bagi pendaftar penyandang disabilitas. Ini tidak hanya memberikan tambahan persyaratan yang memberatkan tapi juga bisa menjadi bentuk diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas. Tidak setiap orang, terutama penyandang disabilitas netra, dapat dengan mudah merekam video, mengedit, dan mengirimkannya tanpa bantuan orang lain.
Kedua, syarat “mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (tech-savvy) untuk menunjang pekerjaan”. Syarat tersebut tidak dicantumkan bagi pendaftar non-penyandang disabilitas. Apakah dengan demikian, pendaftar penyandang disabilitas harus tech-savvy sedangkan non-penyandang disabilitas tidak harus?
Jika ukuran tech-savvy yang dimaksud adalah seperti kemahiran menggunakan media digital bagi penyandang disabilitas netra, tanpa disyaratkan demikian pun mereka tidak akan bisa mendaftar jika mereka tidak tech-savvy.
Di tengah ketimpangan aksesibilitas dan inklusi digital di Indonesia, penyandang disabilitas yang tech-savvy pun akan terdiskriminasi jika pemerintah tidak memastikan aksesibilitas digital dan teknologi informasi.
Ketiga, masih abainya panitia rekrutmen CPNS pada aksesibilitas dan akomodasi peserta seleksi dengan disabilitas.
Setelah pengisian ragam disabilitas di formulir pendaftaran, tidak ada pertanyaan atau isian lanjutan yang berkenaan dengan hal yang lebih spesifik lainnya, seperti disabilitas daksa tertentu atau disabilitas sensorik netra tertentu.
Jika pendaftar memilih “disabilitas daksa” di formulir, hal tersebut belum jelas apakah daksa yang dimaksud adalah pengguna kursi roda, pengguna kruk, atau orang dengan disabilitas daksa tangan, atau bahkan kombinasi dari dua atau tiga kondisi disabilitas daksa tersebut. Begitu pula jika pendaftar mengisi “disabilitas ganda”, tidak ada syarat penyebutan detail kegandaan tersebut terdiri dari disabilitas apa saja.
Isian lanjutan tersebut juga akan menentukan apa yang harus disediakan penyelenggara seleksi untuk pendaftar penyandang disabilitas. Jika panitia dapat mengumpulkan data sedetail mungkin terkait akomodasi tersebut, penyelenggaraan seleksi akan lebih mudah disesuaikan.
Formulir pendaftaran yang mensyaratkan keberadan video justru dapat diganti dengan pertanyaan lanjutan tentang kondisi disabilitas tersebut atau mengenai akomodasi apa yang dibutuhkan penyandang disabilitas selama menjalani seleksi.
Apa yang harus dibenahi?
Pertama, seharusnya panitia menanyakan dan memastikan kebutuhan calon peserta di masing-masing tahapan rekrutmen. Penjelasan lengkap mengenai mekanisme tiap tahapan seleksi akan mempermudah penyesuaian dan memberikan gambaran kepada calon peserta tentang akomodasi apa yang mereka butuhkan.
Kedua, memastikan aksesibilitas pengumuman, platform pendaftaran, dan soal tes. Meskipun isi pengumuman dapat dibacakan orang lain, pengisian formulir bisa dibantu teman atau kerabat, atau soal tes bisa dibacakan petugas, aksesibilitas dapat memberi pengalaman yang sama bagi pengguna screen reader sebagaimana orang awas yang tidak menggunakan alat bantu.
Ketiga, memastikan bahwa penyandang disabilitas juga dapat mendaftar di formasi umum. Jika tidak, maka seterusnya kita akan terjebak pada segregasi jenis pekerjaan bagi penyandang disabilitas.
Pada 2019, sistem pendaftaran yang cenderung mengeksklusi penyandang disabilitas hanya dapat mendaftar di formasi tertentu membuat hak penyandang disabilitas terbatasi. Tidak semua penyandang disabilitas tidak dapat bersaing dengan non-penyandang disabilitas di formasi untuk umum.
Keempat, menyediakan template surat keterangan disabilitas. Tidak setiap rumah sakit atau puskesmas terbiasa memberikan surat keterangan disabilitas.
Dalam pengalaman kami di Subdirektorat Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya ketika Seleksi Mandiri Penyandang Disabilitas, untuk mempermudah calon pendaftar mendapatkan surat keterangan disabilitas, template surat perlu disediakan agar petugas rumah sakit atau puskesmas dapat dengan mudah memahami maksud dan kebutuhan calon pendaftar.
Kelima, keterlibatan penyandang disabilitas, organisasi difabel, atau komisi nasional disabilitas dalam proses rekrutmen sangat penting untuk membuat seluruh tahapan rekrutmen berjalan lebih sesuai dengan kebutuhan aksesibilitas dan akomodasi. Konsultasi atau diskusi dengan berbagai kalangan, terutama kepada penyandang disabilitas dan organisasinya, dapat memberikan kontribusi berupa saran yang signifikan dalam proses seleksi CPNS.
Mahalli, Researcher, AIDRAN and the Center for Disability Services, Universitas Brawijaya; Alies Poetri Lintangsari, Lecturer, Universitas Brawijaya, dan Unita Werdi Rahajeng, Dosen, Universitas Brawijaya
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.