Pandemi COVID-19 melahirkan kebijakan Belajar Dari Rumah (BDR) secara daring sebagai solusi karena pembelajaran tatap muka tidak bisa dilakukan. BDR dimaksudkan agar hak peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan semasa pandemi tetap dapat terpenuhi.
Namun, ketiadaan gawai, akses jaringan internet serta keterampilan digital membuat kebijakan BDR tidak efektif. Hasil riset SMERU, lembaga independen yang melakukan penelitian dan kajian kebijakan, menunjukkan bahwa di masa pandemi, 30% guru di luar pulau Jawa tidak menggunakan aplikasi digital dalam pengajaran. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) pun menyadari bahwa metode BDR tidak dapat berjalan efektif dan berisiko memunculkan kesenjangan capaian hasil belajar.
Dalam konteks daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar), istilah untuk menyebut wilayah Indonesia yang memiliki kondisi geografis, sosial, ekonomi dan budaya yang terpencil dan kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional, tidak efektifnya BDR berakar pada permasalahan-permasalahan yang lebih mendasar, yaitu:
Terbatasnya akses dan infrastruktur pendidikan
Ketersediaan infrastruktur dasar yang dapat mendukung terselenggaranya layanan pendidikan, seperti akses jalur transportasi (darat, laut dan udara), sarana transportasi, dan jaringan komunikasi, merupakan kebutuhan krusial bagi wilayah terisolir.
Namun, terbatasnya aksesibilitas daerah dan infrastruktur pendidikan, dalam hal ini infrastruktur jaringan internet, masih menjadi tantangan terbesar dalam pembangunan sektor pendidikan di daerah 3T.
Daerah 3T memang tidak strategis secara geografis karena umumnya berada di wilayah yang sulit dijangkau. Hal ini membuat pembangunan berbagai fasilitas pelayanan di daerah 3T terhambat karena terbatasnya akses menuju pusat pemerintahan maupun pusat perekonomian.
Ketersediaan tenaga pendidik
Rendahnya mutu pendidikan di daerah 3T juga disebabkan oleh berbagai permasalahan terkait guru atau tenaga pendidik, seperti kekurangan jumlah guru, distribusi guru yang tidak seimbang, kualifikasi guru di bawah standar atau ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu.
Kurangnya jumlah guru di daerah 3T sebenarnya merupakan persoalan lama. Menurut laporan analisis dari divisi penelitian dan pengembangan (litbang) Kompas, data Neraca Pendidikan Daerah (NPD) 2020 menunjukkan bahwa daerah 3T di Indonesia masih kekurangan guru sebanyak 21.676 orang, dengan rincian: jenjang SD kekurangan guru sebanyak 6.879 orang, SMP sebanyak 9.659 orang, SMA sebanyak 2.850 orang dan SMK sebanyak 2.288 orang.
Hal ini menimbulkan ketimpangan yang tinggi dalam angka rasio guru-murid terutama untuk jenjang pendidikan SD dan SMP. Sebagai contoh Kabupaten Yahukimo, Papua, memiliki rasio guru PNS dibandingkan dengan jumlah murid sebesar 1:469 untuk SD dan 1:86 untuk SMP. Padahal, mengacu pada standar parameter dalam Sistem Verifikasi dan Validasi Proses Pembelajaran, Kemendikbud, rasio ideal guru murid jenjang SD yaitu 1:32 dan untuk jenjang SMP 1:36.
Apabila dilihat dalam konteks nasional berdasarkan indeks pemerataan guru (IPG), yaitu alat ukur untuk mengetahui derajat ketidakmerataan guru, dari 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, hanya 155 saja yang yang memiliki IPG berkategori baik atau setara dengan 30,16%.
Selain persoalan kuantitas, daerah 3T juga masih berkutat dengan persoalan kualitas guru. Masih banyak guru yang tidak memenuhi standar kualifikasi pendidikan atau mengajar tidak sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Pengalaman penulis ketika riset tahun 2022 di Keerom, Papua, menunjukkan bahwa masih ada guru SD lulusan SMA yang mengajar beberapa kelas sekaligus, bahkan terkadang dengan mata pelajaran yang berbeda, karena kurangnya guru di sekolah.
Hasil observasi dan wawancara riset pada waktu itu juga menunjukkan bahwa mereka belum memiliki guru mata pelajaran olah raga sehingga terpaksa diampu oleh guru lain yang sebetulnya tidak memiliki kualifikasi di bidang olah raga.
Hal ini diperparah dengan adanya guru-guru yang kemudian beralih profesi karena alasan kesejahteraan. Ketika melakukan riset di Desa Pala Pasang, Kecamatan Entikong, Kalimantan Barat tahun 2021 lalu (belum dipublikasikan), contohnya, penulis melakukan wawancara mendalam dengan perangkat desa yang beberapa bulan sebelumnya masih berprofesi sebagai guru honorer di salah satu SD. Dari wawancara tersebut, penulis memperoleh cerita bahwa peralihan profesi tersebut terpaksa dia lakukan karena tingkat kesejahteraan guru honorer sangat rendah dan profesi sebagai perangkat desa memberikan pendapatan yang lebih baik.
Konflik antarbudaya
Untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga pendidik, pemerintah mengirim guru-guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) ke daerah 3T. Namun, solusi ini rentan konflik. Di Keerom, Papua, misalnya, sempat terjadi konflik antara guru di satu sekolah dasar dengan masyarakat lokal. Pemicu konflik adalah faktor kesenjangan sosial dan budaya antara guru yang kebetulan pendatang dengan masyarakat lokal yang tidak memiliki penghasilan tetap. Akibatnya, guru menjadi tidak betah karena merasa terancam keamanan dirinya.
Permasalahan kesenjangan sosial budaya ini menjadi salah satu penyebab gelombang eksodus para guru yang ditempatkan di daerah 3T dan memilih lokasi yang lebih mudah diakses. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) beberapa waktu lalu bahwa faktanya banyak guru yang telah diangkat sebagai ASN malah kemudian mengajukan usulan pindah ke wilayah perkotaan.
Daerah 3T memiliki permasalahan dan tantangan yang berbeda dengan wilayah lain, seperti faktor geografis, keterbatasan infrastruktur dan tantangan guru atau tenaga pendidik. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang juga berbeda, sesuai konteks kebutuhan dan kondisi masyarakatnya.
Fikri Muslim, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Dina Ika Kusumaningsih, Monitoring, Evaluation, and Learning Officer KEMITRAAN, dan Dini Dwi Kusumaningrum, Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Fikri Muslim, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Dina Ika Kusumaningsih, dan Dini Dwi Kusumaningrum, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.