OKTANA.ID, SURABAYA- Lagu Halo-Halo Bandung kini tengah ramai menjadi perbincangan publik. Pasalnya, muncul dugaan plagiasi pada lagu wajib nasional itu. Dugaan itu mencuat seiring dengan munculnya lagu berjudul Hello Kuala Lumpur pada kanal YouTube Lagu Kanak TV. Diketahui, lagu Hello Kuala Lumpur memiliki lirik dan musik yang sangat mirip dengan Halo-Halo Bandung.
Sebenarnya lagu tersebut telah tayang sejak tahun 2018 dan kembali muncul pada Mei 2020 lalu. Akan tetapi, lagu tersebut baru kembali viral dan memantik kontroversi dalam beberapa waktu belakangan ini.
Menanggapi hal itu, dekan sekaligus dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Purnawan Basundoro SS MHum angkat bicara. Menurutnya, tindakan plagiasi terhadap lagu Halo-Halo Bandung merupakan suatu pelanggaran.
“Tentu saja tidak boleh. Itu jelas melanggar hak cipta,” ucapnya, Jumat (22/9/2023).
Dugaan plagiasi dan klaim produk budaya Indonesia sebenarnya bukan kali pertama terjadi. Pihak Malaysia juga sempat melakukan klaim sepihak terhadap lagu Rasa Sayange. Klaim itu juga berlaku pada produk budaya lainnya, seperti batik, angklung, hingga Reog Ponorogo.
Adanya fenomena klaim budaya, kata Prof Purnawan, berpotensi memengaruhi pemahaman sejarah dan budaya bangsa bagi generasi selanjutnya. Terlebih lagi, lagu Halo-Halo Bandung memiliki kaitan dengan sejarah dan perjuangan bangsa Indonesia. Lagu ini berhubungan erat dengan peristiwa Bandung Lautan Api yang terjadi pada tahun 1946.
“Bisa saja menimbulkan kebingungan pada pemahaman sejarah kita. Generasi muda kita bisa saja tidak mengetahui bahwa lagu Halo-Halo Bandung adalah lagu asli yang sebenarnya dan itu adalah lagu wajib nasional kita,” tutur Guru Besar FIB UNAIR itu.
Kesamaan Budaya Tak Jadi Pembenaran
Menyusul adanya dugaan plagiasi, kontroversi baru pun muncul. Kontroversi itu berkaitan dengan pernyataan salah seorang warganet yang disinyalir adalah warga Malaysia. Ia mengatakan bahwa rakyat Indonesia tidak perlu gaduh perkara kemiripan lagu tersebut. Pasalnya, ia menganggap bahwa Indonesia dan Malaysia adalah negara serumpun yang memiliki banyak kesamaan budaya.
Menyanggah hal tersebut, Prof Purnawan menilai kesamaan budaya dan kedekatan sejarah tidak lantas dapat menjadi pembenaran plagiasi maupun klaim budaya.
“Ya itu tidak bisa dibenarkan, ya. Karena ini sudah menyangkut hak cipta, latar belakang sejarah maupun kesamaan budaya tidak bisa menjadi alasan pembenaran. Sebuah karya tentu perlu perlindungan dan tidak boleh ada plagiasi,” ujar peraih penghargaan Pemerhati dalam Melestarikan Cagar Budaya dari Pemerintah Kota Surabaya itu.
Lebih lanjut, dosen kelahiran Banjarnegara itu menyebut perlu adanya tindakan strategis dari pemerintah. Budaya merupakan wajah dan representasi dari sebuah bangsa. Untuk itu, pemerintah perlu meningkatkan pemahaman sejarah dan budaya pada generasi muda.
Peningkatan itu, lanjutnya, dapat berupa penekanan pada pembelajaran sejarah sedini mungkin pada anak-anak. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan pengenalan dan pemahaman generasi muda terhadap lagu-lagu wajib nasional.
“Saya rasa pemerintah bisa menekankan kembali pendidikan sejarah pada anak-anak. Dan tentu mengenalkan kembali lagu-lagu wajib kita sedini mungkin. Supaya mereka tahu akar dari budaya bangsa kita, termasuk lagu itu tadi. Kalau memang betul ada penjiplakan, pemerintah juga perlu bertindak dan menyuarakan pada masyarakat Malaysia bahwa itu bukan tindakan yang benar,” tutupnya.
Editor: Beatrix