OKTANA.ID, SURABAYA- Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Timur, Sundari, mengingatkan bahwa terdapat jebakan di media sosial jelang Pemilu 2024. Jebakan ini bertujuan untuk menjelekkan kandidat lain, memecah belah netizen, hingga membuat kegaduhan di masyarakat.
“Jebakan itu bisa berupa penyebaran hoaks atau disinformasi, filter bubble, hiperealitas, hingga cyberbullying,” kata Ndari saat mengisi seminar politik berjudul “Pendidikan Politik di Era Digital: Peran Media Sosial dan Etika Politik’ yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya, Kamis (21/9/2023).
Menurut Ndari, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memang tidak berhak mengawasi media sosial. Namun pihaknya selalu mengimbau kepada media penyiaran untuk menjadi penjernih informasi yang beredar di masyarakat.
Media penyiaran diharapkan mampu mengajak pemirsa memilih isu yang substantif dibandingkan yang sekadar viral. Stasiun televisi dan radio, ujar Ndari, bisa membantu masyarakat untuk mengklarifikasi kabar bohong atau hoaks.
“Hoaks sudah mulai muncul sekarang karena itu penting memilih informasi yang tepat dan benar sesuai fakta,” ujarnya.
Jebakan di media sosial lainnya adalah filter bubble. Ndari menggambarkan filter bubble sebagai dampak kerja algoritma media sosial dalam menentukan informasi yang akan ditemukan netizen di internet. Pengguna media sosial hanya akan menemukan informasi yang sejenis dan sulit menjangkau konten yang berseberangan.
“Filter bubble akan menyebabkan kita berpikiran tertutup. Alhasil, terwujudlah polarisasi netizen dan pandangan terhadap sesuatu menjadi parsial,” ujar lulusan Magister Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia dengan konsentrasi media digital dan komunikasi politik ini.
Pikiran yang tertutup, menurut Ndari, bisa memicu cyberbullying terhadap orang yang berbeda pendapat atau pilihan di Pemilu 2024. Mereka yang mempunyai pikiran tertutup itu menganggap kebenaran hanya seperti versinya saja. Oleh sebab itu, Ndari mengimbau pengguna untuk mengakses media sosial dengan penuh kesadaran dan membekali diri sendiri dengan literasi media sosial.
“Kita bisa belajar metode cek fakta, kita wajib mengetahui bagaimana kerja penyebaran konten di media sosial, kita hendaknya mencari informasi dari berbagai sumber yang berbeda atau cover all side,” tutur Ndari.
Selain Korbid Pengawasan Isi Siaran KPID Jatim, narasumber lain dalam seminar itu adalah
Dikesempatan yang sama, Ketua Bawaslu Surabaya Muhammad Agil Akbar mengatakan, media memiliki kewajiban untuk menjaga iklim demokrasi dan mendukung terselenggaranya pemilu yang sehat dan berlangsung secara fair sesuai dengan tahapan.
“Ada beberapa media yang membuat framing negatif, seharusnya tidak boleh dilakukan, karena pada dasarnya media merupakan salah satu pilar pilar demokrasi,” kata Agil.
Media sosial merupakan senjata kuat pendidikan politik di era digital. Karena itu, Agil mengajak seluruh pihak bertanggung jawab dengan membangun etika politik yang kuat di dunia maya, tempat informasi benar dan dialog beradab menjadi fondasi perubahan positif.
Editor: Beatrix