OKTANA.ID, SURABAYA- Minat baca buku di Indonesia masih sangat rendah. Berdasarkan data UNESCO dan Kemenkominfo, indeks minat baca masyarakat +62 hanya di angka 0,001 persen. Dengan kata lain, dari seribu orang, hanya satu yang gemar membaca buku.
Angka tersebut bersifat general, juga terjadi di kalangan mahasiswa. Perpustakaan dan taman-taman baca semakin sepi pengunjung. Jika pun ada, jumlahnya tak seberapa. Perpustakaan mayoritas ‘dihuni’ mahasiswa yang sedang menyusun laporan, tugas akhir atau jurnal.
Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UNESA, Prof. Dr. Mochamad Nursalim, M.Si., menekankan bahwa buku masih sangat relevan dan menjadi sumber belajar yang utama.
Secara umum, buku, selain terpercaya akan muatannya, karena melewati beberapa tahap seleksi, validasi, editing dan seterusnya, juga menyajikan data dan informasi secara dalam dan komprehensif. Ada latar belakang, rumusan masalah, faktor dan penjelasannya, metode dan solusi hingga kesimpulan dan referensi yang bisa ditelusuri.
Buku dalam konteks ini bisa bermacam-macam, bisa buku cetak, buku elektronik atau e-book maupun jurnal-jurnal atau hasil riset yang tersedia di berbagai platform terpercaya.
“Akses bacaan atau sumber belajar sekarang sangat melimpah, tinggal kita yang manfaatkannya atau tidak,” terangnya.
Lebih lanjut Dikatakan Nursalim, internet atau media sosial tertentu termasuk sumber belajar. Banyak sekali hasil riset yang bisa diakses di internet. Juga, banyak sekali podcast, diskusi, seminar atau kuliah umum yang bisa disaksikan di YouTube.
Hanya saja memang, lanjutnya, karena semua orang bisa membuat konten, menulis atau berpendapat di sana, mahasiswa harus pandai memilah dan memilih sumber belajar atau platform belajar yang tepat dan terpercaya untuk meningkatkan kapasitas keilmuan dan kompetensi.
Belajar di Youtube, mendengarkan orang diskusi atau podcast hampir mirip seperti mahasiswa sedang kuliah dan mendengarkan dosennya yang mengajar di depan kelas atau di ruang daring. Itu bagus untuk menunjang belajar mahasiswa. Terutama yang berkaitan dengan hal-hal praktis seperti tutorial dalam melakukan sesuatu.
Namun, ketika berkaitan dengan kompetensi dan keilmuan, mengandalkan belajar lewat Youtube saja tidak cukup.
“Apalagi video podcast cenderung pendek dan hanya inti-intinya saja. Kita tahu pendapat orang, tapi kita tidak mengerti apa alasan atau premis orang di balik pendapat atau kesimpulannya itu. Intinya informasi dan pengetahuan tidak boleh ditelan mentah-mentah, tetapi perlu dipilah dan diverifikasi,” bebernya.
Agar maksimal, mahasiswa harus memanfaatkan banyak sumber belajar. Ilmu yang didapat dari dosen di kelas juga perlu diperluas dengan mendengarkan penjelasan para ahli lain; bisa kelas tambahan, pelatihan atau para ahli di dunia maya. Dan, penting juga menelusuri, menggali dan mendalami sendiri dengan membaca referensi utama atau ‘buku babon’ tiap disiplin keilmuan sebagai penguatan dan pendalaman.
Dia menyarankan agar mahasiswa tidak asal belajar, tetapi perlu mengidentifikasi dulu gaya belajarnya masing-masing. Apakah termasuk orang dengan gaya belajar visual, auditori atau kinestetik. Nah, ini menentukan media dan sumber belajar yang digunakan.
Lingkungan dan suasana belajar juga turut menjadi perhatian. Jika mahasiswa merasa mudah bosan atau kesulitan untuk belajar sendiri, maka belajar dengan diskusi kelompok dapat menjadi solusi. Begitu juga sebaliknya jika mahasiswa merasa lebih nyaman dengan suasana yang tenang maka belajar secara mandiri akan lebih efektif.
“Pemilihan waktu juga dapat mempengaruhi efektifitas belajar seseorang. Pengulangan pembelajaran harus sering dilakukan sehingga materi yang dipelajari dapat dipahami secara lebih mendalam. Bahkan jika memang dibutuhkan praktek atau uji coba langsung,” pungkasnya.
Editor: Beatrix