OKTANA.ID, Jakarta- Ribuan kepala desa (kades) menyuarakan aspirasi di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Selasa (17/1/2023) lalu. Mereka meminta adanya penambahan masa jabatan kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun dalam satu periode jabatan. Maka, permintaan tersebut diaspirasikan kepada DPR RI untuk merevisi UU Desa tentang masa jabatan kades.
“Salah satu usul yang disampaikan terkait revisi UU tentang Desa ini adalah mengenai perpanjangan masa jabatan kepala desa dan perangkat desa. Masa jabatan kepala desa yang hanya enam tahun dinilai terlalu pendek sehingga para kades terpilih belum bisa menyelesaikan rencana pembangunan desa,” ungkap anggota DPR RI, Charles Meikyansyah dalam keterangan persnya.
Charles mengatakan masa jabatan kepala desa yang hanya enam tahun dinilai terlalu pendek sehingga para kades terpilih belum bisa menyelesaikan rencana pembangunan desa. Ia menambahkan ada 10 poin dalam tuntutan kades tentang revisi UU Desa.
Di antaranya soal kedudukan dan jenis desa, tugas dan tanggung jawab penataan desa, kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, peraturan desa, keuangan dan aset desa, pembangunan desa dan kawasan desa, ketentuan desa adat, hak dan kewajiban desa serta masyarakat desa, serta pembinaan dan pengawasan.
Presiden Jokowi Sepakat Tambah Masa Jabatan Kades
Terpisah, Budiman Sudjatmiko, politisi PDI-P dipanggil Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Selasa (17/1/2023) malam. Aktivis ’98 ini mengaku bahwa undangan Presiden tersebut untuk membicarakan soal masa jabatan kades.
“Tadi Bapak (Presiden) itu banyak bertanya soal keadaan. Kebetulan hari ini tuh ada belasan ribu kepala desa berdemonstrasi meminta revisi UU Desa. Beliau bertanya apa yang saya ketahui. Saya menyampaikan bahwa ada aspirasi tuntutan (agar) ada perubahan periodisasi jabatan kepala desa. Dalam UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, di mana saya juga ikut mengegolkannya,” terangnya usai pertemuan dengan Jokowi.
Berdasarkan UU tersebut, kata Budiman, kades maksimal bisa menjabat selama 18 tahun. Akan tetapi, berdasarkan temuan di lapangan, aturan itu dinilai membuat boros dan banyak menimbulkan gesekan sosial.
“Karena kalau kita pilihan kepala desa kan dengan (melawan) tetangga, dengan saudara sendiri itu kadang-kadang dua tahun, tiga tahun (efek konfliknya). Dua tahun pertama itu enggak selesai konfliknya sehingga sisa tiga tahun atau empat tahun enggak cukup untuk membangun desa,” kata Budiman.
Di sisi lain, setelah masa jabatan enam tahun selesai, harus ada pilkades lagi.
“Sehingga kerja konsentrasi membangun desa (hanya) dua atau tiga tahun. Sementara tiga atau empat tahun habis untuk berkelahi,” kata Budiman.
Sehingga, ada tuntutan menjadi 9 tahun dalam satu periode jabatan. Menurutnya yang terpenting jabatannya tidak 6 tahun tiap periodenya. Budiman juga menyebut bahwa Jokowi sepakat adanya permintaan dari kades itu. Ia menyatakan bahwa presiden menilai tuntutan tersebut masuk akal lantaran adanya dinamika pemerintahan di desa berbeda dengan di kota.
“Beliau setuju dengan tuntutan itu. Tinggal nanti dibicarakan di DPR,” pungkasnya.
Perhatikan Sirkulasi Elit di Desa
Di sisi lain, Wahyudi, sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Malang, menilai permintaan kades dalam revisi satu masa jabatan menjadi 9 tahun terlalu panjang. Wahyudi melihat bahwa yang terpenting ialah sinkronisasi program kerja antara kades lama dengan kades baru bila ada pilkades. Hal ini yang semestinya diperbaiki dalam rencana pembangunan desa jangka pendek, menengah, maupun panjang.
“Koherensi pembangunan dalam rencana pembangunan desa itu kan yang mestinya dipikirkan. Sehingga, selalu ada keterkaitan program pembangunan desa dari waktu ke waktu,” terang Wahyudi.
Tak hanya itu, Wahyudi juga menyorot tentang perpanjangan masa jabatan itu akan tidak sehat. Karena, sirkulasi elit di desa akan berjalan terlalu lama. Apalagi, tiap masa ada banyak perubahan global. Bila terlalu lama, imbuh Wahyudi, dikhawatirkan akan memperlambat sirkulasi elit politik di desa.
“Terobosan dan inovasi di desa dari generasi selanjutnya harus dijaga. Bahkan kalau dua periode saja itu sudah bagus, 1 periode 6 tahun lebih bijak, yang penting ada keberlanjutan pembangunan di desa,” kata Wahyudi.
Sirkulasi elit ini, dinilai Wahyudi harus bisa berjalan dengan lancar untuk memberikan kesempatan untuk orang lain. Sehingga, tidak melanggengkan budaya patronase terhadap orang tertentu.
“Jangan terlalu panjang, bagi yang ambisius pasti senang. Namun, perlu dipikirkan generasi selanjutnya, agar terjadi sirkulasi elit di desa. Biar tidak dari elit ke elit itu lagi, kalau bisa ada sumber daya baru yang bisa memberi perubahan. Memang demokrasi Indonesia, dalam sirkulasi kepemimpinannya sering terpasung budaya patronase,” tegas Wahyudi.
Artinya, demokrasi tidak berjalan hanya seperti perpindahan jabatan dari anggota ke anggota keluarga saja.
“Sekarang bapaknya, periode ke depan ganti anaknya, begitu terus fenomenanya,” pungkas Wahyudi. (Ca/Dwo)