OKTANA.ID– Hari Nyepi adalah hari suci umat Hindu yang dirayakan setiap tahun. Pada tahun ini, umat Hindu di Indonesia akan merayakan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka pada tanggal 22 Maret 2023. Guna menyemarakkan perayaan nyepi umat Hindu di Indonesia khususnya Bali biasanya menyelenggarakan berbagai acara keagamaan dan adat, salah satunya dengan perayaan ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh dipercaya oleh masyarakat Bali sebagai cerminan sifat buruk dalam diri manusia. Maka dari itu ogoh-ogoh yang mencerminkan sifat buruk manusia sering ditampilkan dengan bentuk yang mengerikan dan ukuran yang sangat besar seperti raksasa. Biasanya setelah ogoh-ogoh selesai dibuat, ogoh-ogoh tersebut akan diarak untuk berkeliling desa dan pada akhirnya ogoh-ogoh tersebut akan dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini juga memiliki arti sebagai simbol pemusnahan hal-hal buruk yang akan mengganggu manusia. Itulah sebabnya mengapa pawai ogoh-ogoh dilaksanakan sehari sebelum Nyepi. Pada tahun ini, pawai ogoh-ogoh telah dilaksanakan pada Selasa, 21 Maret 2023.
Ternyata di Bali, tidak semua daerah dapat menyelenggarakan pawai ogoh-ogoh. Berbeda dengan mayoritas daerah di Bali yang mengeluarkan ogoh-ogohnya untuk diarak, terdapat suatu daerah adat di Bali bernama Desa Renon yang konon memiliki larangan bagi para warganya untuk membuat ogoh-ogoh. Larangan tersebut tidak dibuat dari jaman nenek moyang, melainkan dibuat setelah terjadinya hal mistis pada saat akan menampilkan ogoh-ogoh. Peristiwa mistis tersebut pertama kali terjadi sebelum tahun 1985. Seperti biasa, masyarakat Bali begitu antusias dalam menyambut hari raya Nyepi dengan membuat ogoh-ogohnya. Pada saat itu, banjar-banjar di Bali sudah mulai membuat ogoh-ogoh. Begitu pula dengan 4 banjar yang ada di desa Renon. Warga Desa Renon yang membuat ogoh-ogoh pun mulai membuat ogoh-ogoh dengan berbagai bentuk seperti wujud raksasa hingga babi. Namun ternyata hal aneh muncul pada saat sebelum malam pengerupukan, karena tiba-tiba terjadi berbagai kejadian mistis seperti ogoh-ogoh yang bergerak sendiri hingga mengeluarkan suara secara bersamaan. Karena hal tersebut, masyarakat Renon menganggap jika terjadinya hal mistis tersebut merupakan tanda jika Ida Sesuhunan tidak berkenan dengan diadakannya pawai ogoh-ogoh di Desa Renon. Berdasarkan itulah mengapa Desa Renon tidak melakukan pawai ogoh-ogoh.
Peristiwa mistis tersebut ternyata tidak terjadi hanya sekali. Pada sekitar tahun 1996, I Wayan Suarta yang merupakan warga Desa Renon ingin mencoba untuk membuat ogoh-ogoh. I Wayan berpendapat pada saat itu jika sudah belasan tahun lamanya semenjak adanya larangan dibuatnya ogoh-ogoh dan mungkin saja jika Ida Sesuhunan dapat memberikan izin agar warga Desa Renon dapat kembali membuat ogoh-ogoh. Ida Sesuhunan sendiri merupakan penyebutan dari manifestasi Ida Sang Hyang Widhi. Setelah bermusyawarah dengan warga, akhirnya mereka menemukan kesepakatan untuk mencoba membuat kembali ogoh-ogoh setelah belasan tahun lamanya pembuatan ogoh-ogoh tersebut dilarang. Benar saja, setelah mulai pembuatan ogoh-ogoh tersebut I Wayan beserta beberapa warga mulai menghadapi berbagai peristiwa mistis. Seperti pada saat awal pembuatan ogoh-ogoh, I Wayan serta warga telah mengukur ukuran ogoh-ogoh agar tidak lebih besar dari gang jalan. Namun pada saat ogoh-ogoh mulai selesai, secara tiba-tiba ogoh-ogoh itu menjadi lebih besar dari gang jalan sehingga tidak dapat keluar. Melihat adanya hal mistis tersebut I Wayan berniat untuk melakukan izin (matur piuning) ke beberapa tempat suci di daerah Renon agar kejadian pada tahun 1985 tidak lagi terjadi. Matur Piuning dilakukan pada pagi hari sebelum hari Nyepi. Namun, I Wayan malah mengalami kerauhan atau kesurupan. Meski begitu, I Wayan tetap melanjutkan prosesi matur piuning ke beberapa tempat lagi walaupun Ia kembali mengalami kerauhan. Setelah I Wayan merasa seperti mendapatkan izin dari Ida Sesuhunan untuk dapat membuat dan melakukan pawai ogoh-ogoh, akhirnya I Wayan beserta warga banjar adat bersiap untuk melakukan pawai ogoh-ogoh dan menunggu prosesi upacara di Bale Agung selesai. Awalnya semua berjalan baik. Namun setelah prosesi Ida Sesuhunan akan mesineb (kembali ke asal-Nya), kejadian pada tahun 1985 kembali terjadi.
Kisah tersebut memuncak dengan terjadinya kerauhan atau kesurupan masal. Para pemangku adat dan pengurus desa lalu menemui I Wayan dan memintanya untuk datang ke Pura Desa. Saat itulah I Wayan diminta untuk tidak melakukan pawai ogoh-ogoh.Ogoh-ogoh yang sudah jadi diminta untuk segera dibakar. Karena alasan keselamatan, akhirnya warga dan pemangku agama sepakat untuk tidak melanjutkan pawai sampai Ida Sesuhunan berkenan untuk mesineb. Tidak selesai, I Wayan tiba-tiba kembali mengalami kerauhan saat akan memberikan banten untuk ogoh-ogoh yang telah dibuat. Karena kejadian itulah, akhirnya para warga Desa Renon sepakat untuk tidak lagi membuat dan menampilkan ogoh-ogoh di pawai sampai sekarang.
Penulis: Chantika
Editor: Srinan