OKTANA.ID – Media sosial seringkali dijadikan sebagai wadah eksplorasi bagi setiap orang untuk berbagai tujuan. Namun, banyak kita temui para pengguna media sosial yang selalu menunjukkan segala hal yang berkaitan dengan kehidupannya seperti kekayaan, pencapaian, dan sebagainya yang mana terkadang terkesan berlebihan yang berujung pamer atau dikenal dengan flexing. Seperti yang selebtok Ibnu Wardani yang baru-baru ini menjadi bahan cibiran netizen karena postingannya yang berkata ketika akan naik taxi di Jepang hanya membuka pintunya saja akan dikenakan biaya sebesar 1,4 juta. Sontak saja influencer tersebut mendapatkan banyak reaksi negatif dari netizen karena perilakunya tersebut dianggap berlebihan.
Tahukah kamu? Kata flexing sebenarnya masih terdengar baru di telinga masyarakat Indonesia karena baru ramai di kalangan milenial pada tahun 2022 lalu. Flexing atau showing off diartikan sebagai tindakan seseorang yang seringkali menunjukkan/ memamerkan apapun yang dimilikinya, seperti kekayaan ataupun pencapaian. Orang yang flexing biasanya akan melakukan perilaku seperti berpakaian terlalu glamour atau mewah, seringkali membicarakan kebaikan pribadi, atau segala perilaku yang dapat menarik perhatian orang lain. Flexing biasanya dilatarbelakangi rasa iri, kebutuhan akan pengakuan atau validasi dari orang lain.
Sedangkan menurut Psikolog Rumah Sakit JIH Solo, Arida Nuralita, perilaku flexing sebenarnya normal-normal saja untuk dilakukan dan pastinya setiap orang memiliki pandangan yang berbeda begitu pula cara menyikapinya. Hal ini tergantung dengan bagaimana kondisi pelaku dan situasinya. Jelasnya, mereka berperilaku demikian karena mereka memilikinya. Terlebih flexing seringkali ditunjukkan oleh kalangan influencer yang notabene mudah sekali untuk memiliki banyak hal yang dapat dijadikan sebagai bahan flexing/pamer. Secara tidak langsung, flexing juga dapat berbahaya apabila tidak bijak dalam menyikapinya karena saat ini banyak orang yang lebih menyukai sesuatu yang instan sehingga ketika melihat perilaku flexing mereka akan cenderung tergugah untuk mengikutinya namun tidak memikirkan bagaimana proses yang dilalui oleh para pelaku. Kita juga tidak akan mengerti cara apa yang dilakukan dibalik perilaku flexing nya.
Lebih lanjut, meminjam pemikiran Alfred Adler (Feist & Feist, 2010) yakni dalam Teori Individual Psychologi, manusia cenderung termotivasi menjadi pribadi yang sukses karena adanya pengaruh lingkungan sosial. Jelasnya, orang akan termotivasi ketika ia melihat orang lain sukses. Melalui teori ini, dapat dikatakan bahwa banyak orang yang melakukan flexing agar dapat diterima di lingkungan pertemanannya atau bahkan berusaha terlihat wah untuk menutupi kekurangannya/insecurity. Perasaan seperti ini kemungkinan besar dikarenakan pengalaman yang tidak menyenangkan dan perasaan kurang sempurna dihadapan orang lain. Dengan hal ini dapat dikatakan bahwa flexing adalah self defense mechanism.
Di sisi lain, perilaku flexing juga dapat dijadikan sebagai gambaran self esteem. Salah satu ahli Psikologi, yakni Santrock (2019), menjelaskan bahwa self esteem dimaknai sebagai penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri mengenai kehormatan yang mana biasanya ditunjukkan melalui sikap yang bersifat implisit dan menggambarkan dirinya sebagai orang yang berkompeten, berharga, dan berkualitas. self esteem sendiri terbagi menjadi dua, yakni self esteem tinggi dan self esteem rendah. Apabila orang yang memiliki self esteem tinggi cenderung memiliki kualitas interpersonal yang baik dan lebih terbuka serta realistis terhadap berbagai hal. Sebaliknya, mereka yang memiliki self esteem rendah cenderung lebih sensitif atau emosional. Akan tetapi, mereka yang memiliki self esteem tinggi akan mengarah pada perasaan sombong atau superior karena merasa baik bahkan akan mengarah pada sikap narsistik karena terlalu ekstrem.
Kaitannya dengan perilaku flexing terlihat pada bagaimana seseorang menggambarkan tentang dirinya dihadapan orang lain. Ketika perilaku flexing mendapat dukungan atau tanggapan positif dari lingkungannya maka pelakunya akan semakin merasa lebih baik. Dengan begitu, tanpa sadar akan menimbulkan rasa optimis yang terlalu tinggi dan akan melakukan tindakan flexing secara terus menerus hingga tanpa sadar akan dampak yang akan ditimbulkan di kemudian hari. Oleh karena itu, sebaiknya kita lebih terbuka dan realistis dalam menyikapi perilaku flexing agar dapat tetap sadar dalam mengontrol diri.
Penulis: Lutfina
Editor: Srinan