OKTANA.ID, JAKARTA– Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie memaparkan ada 11 poin temuan dalam perkara yang menyangkut seluruh hakim konstitusi. Ia membacakan bahwa Ketua MK Anwar Usman melakukan pelanggaran berat kode etik dan diberhentikan dari jabatan ketua.
Pertama, hakim yang dinilai punya konflik kepentingan dengan tidak mundurnya Anwar Usman dalam perkara tersebut. Padahal, Anwar Usman yang notabene merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka tidak mengundurkan diri dalam memutuskan perkara Nomor 90.
Putusan tersebut lekat kaitannya dengan Gibran yang akan maju pilpres. Diketahui, usai putusan dibacakan, Gibran maju di Pilpres berdampingan dengan Prabowo Subianto.
Kedua, mengenai hakim membicarakan substansi berkaitan dengan materi perkara yang sedang diperiksa.
Ketiga, soal dissenting opinion yang disampaikan hakim konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat. Keduanya dinilai menyampaikan perbedaan pendapat yang tak ada kaitannya dengan substansi perkara.
Dissenting opinion itu dinilai sebagai perbedaan pendapat tentang substansi. Sementara dalam pernyataan Saldi Isra dan Arief juga terdapat keluh kesah yang menggambarkan ada masalah dalam mekanisme pengambilan keputusan.
“Padahal itu adalah internal,” kata Jimly.
Keempat, publik tahu terlalu banyak soal masalah internal Mahkamah Konstitusi. Diduga ada pihak yang membuka masalah tersebut kepada eksternal.
Kelima, adanya dugaan pelanggaran prosedur, registrasi dan persidangan yang diduga atas perintah ketua hakim.
Keenam, mengenai lambatnya proses pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, padahal mekanismenya sudah tertuang di Undang-Undang.
Ketujuh, soal management dan mekanisme pengambilan keputusan dianggap cacat prosedur.
Kedelapan, MK dinilai sudah dijadikan alat politik. Memberi kesempatan kekuatan dari luar mengintervensi ke dalam dengan nada kesengajaan. “Itu ada juga yang mempersoalkan kaya gitu,” ucap Jimly.
Kesembilan, adanya pemberitaan di media yang sangat rinci. Terkait pemberitaan sebelum putusan dibacakan yang belakangan jadi dasar gugatan para pelapor.
Kesepuluh, dugaan ada hakim yang berbohong soal pengambilan keputusan. Dari hasil pendalaman, MKMK menemukan ada dua versi cerita hakim ketika menceritakan kronologis tidak hadirnya Anwar Usman dalam sidang putusan MK soal batas usia Capres-cawapres.
Tiga permohonan tersebut yakni yang tidak dihadiri oleh Anwar yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023. RPH digelar pada 19 September 2023. Menurut Hakim Konstitusi Arief Hidayat, saat itu Anwar mencoba menghindari konflik kepentingan terkait gugatan tersebut.
Namun Anwar Usman justru hadir dalam pemutusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berujung dikabulkan. Arief menanyakan ulang kepada Anwar Usman alasan tak hadir di tiga perkara sebelumnya. Ternyata alasannya bukan karena menghindari konflik kepentingan, tetapi alasan kesehatan.
Kesebelas, isu soal seolah ada pembiaran oleh delapan hakim lainnya saat Anwar Usman mengambil keputusan, padahal posisi Anwar Usman sarat akan conflict of interest.